Monday, April 30, 2012

Pemaknaan Rerainan Saraswati

PEMAKNAAN RERAINAN SARASWATI

1.      Pengertian Saraswati
Saraswati adalah nama Dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks mitologi, sakti diartikan istri). Sakti sesungguhnya berarti kekuatan yang terwujud. Karena itu dalam Wrehaspati Tattwa 14 dinyatakan : Sakti ngarania sang sarwa jnyana sarwa karta. Maksudnya : Sakti namanya adalah mereka yang memiliki banyak ilmu dan banyak karya berdasarkan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian Dewa Brahma adalah sinar suci Tuhan dalam wujud daya spiritual Tuhan dalam menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan Dewi Saraswati adalah aspek Tuhan dalam mewujudkan ilmu itu menjadi nyata di bumi ini sehingga dapat didayagunakan oleh manusia untuk dijadikan pegangan dalam menyelenggarakan dan membenahi hidupnya di bumi ini agar menjadi semakin baik dan benar untuk mencapai kehidupan yang bahagia di jalan Tuhan.
Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan itu dirasakan bagaikan sinar menerangi hidup ini. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh”. Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang : wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala)  dan bunga teratai. Dewi saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebelahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat Hindu di India dipuja dalam wujud Murti Puja baik dalam bentuk gambar maupun arca. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau Rerahinan Saraswati. Stana Sang Hyang Aji Saraswati disimbolkan pada Aksara. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti Aksara itu atau huruf yang fungsinya untuk menyebarkan sabda Tuhan yang merupakan kebenaran yang kekal abadi. Karena itu Aksara itu jangan disalahgunakan untuk menuliskan hal-hal yang membuat manusia semakin jauh dengan sabda Tuhan Yang Kekal Abadi itu.
 Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua waktu yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Memuja Tuhan dalam mencari dan menerapkan ilmu pengetahuan itu amat dianjurkan agar jangan kita sampai menyimpang dari kaidah spiritual dalam mencari dan menerapkan ilmu pengetahuan itu. Karena dalam Kekawin Nitisastra IV.19 dinyatakan bahwa ilmu (Guna) itu salah satu dari tujuan penyebab kemabukan (timira). Barang siapa tidak mabuk atau gelap hati karena tujuh hal itu dialah yang dapat disebut “sang mahardika” atau orang yang merdeka secara rohani. Dialah yang seyogiyanya ditetapkan sebagai seorang “pinandita”. Kekawin Nitisastra ini mengingatkan umat manusia agar jangan samai mabuk karena merasa punya banyak ilmu.
Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan smbang samadhi. Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.
Yang sering menjadi pertanyaan umat yang semakin intelek mengapa justru saat Hari Raya Saraswati wujud perayaan yang tergolong utama justru umat dianjurkan untuk tidak membaca dan menulis apalagi mematikan Aksara. Yang dimaksud dengan mematikan Aksara adalah huruf Bali kalau ditulkus dengan “mesuku dan menghulu”. Aksara Bali itu tidak dibaca. Kalau Aksara “n” misalnya diisi hulu diatasnya maka Aksara “n” itu menjadi “ni”. Kalau Aksara tersebut diisi suku dibawah aksara “n” itu akan menjadi “nu”. Kalau aksara “n” itu diisi hulu diatasnya dan sekaligus juga diisi suku dibawahnya maka aksara “n” itu tidak bisa dibunyikan. Itulah disebut mematikan Aksara. Hal itulah yang tidak boleh dilakukan saat perayaan Saraswati. Tidak boleh membaca, menulis dan mematikan aksara saat perayaan Saraswati itu memiliki makna yang cukup dalam. Tidak membaca, tidak menulis dan tidak boleh mematikan aksara itu bermakna sebagai saat melakukan jeda dengan perenungan sejenak atau sehari untuk melakukan evaluasi pada kegiatan hidup sebelumnya dalam memaknai ilmu pengetahuan dan etika penggunaan Aksara. Seorang pencari ilmu itu disebut Brahmacari. Kata “Brahma” dalam hal ini artinya ilmu pengetahuan suci dan “cari” berasal dari kata “Car” artinya bergerak aktif. Brahmacari artinya orang yang sedang bergerak aktif mencari ilmu pengetahuan untuk tujuan suci. Brahmacari dalam Agastya Parwa dinyatakan “Brahmacari ngarania sang mahabiasa sang hyang sastra tur sang wruh ring kalingganing Sang Hyang Aksara”. Artinya Brahmacari namanya adalah orang yang menjadikan belajar mencari ilmu pengetahuan suci (Sastra) itu sebagai suatu kebiasaan dan mereka yang paham dalam menggunakan hakekat Aksara. Saat melakukan jeda sehari itulah ajaran Brahmacari itu dijadikan dasar untuk melakukan renungan. Kalau ternyata belum dilakukan hendaknya ada kesadaran untuk bertekad melakukan upaya memperbaiki agar makna adanya Saraswati itu dilakukan lebih baik kedepan.


a.      Saraswati Sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi dan terminologi agama, Ilmu dan Seni dapat dibeda-bedakan secara jelas dan gamblang. Tetapi dalam kehidupan empiris agama, Ilmu dan Seni akan saling bersinergi luluh menyatu menjadi unsur yang menguatkan hidup dan kehidupan manusia. Kalau tepat cara memadukan Agama, Ilmu dan Seni tersebut dalam menyelenggarakan hidup dan kehidupan ini maka dengan Agama, Ilmu dan Seni itu manusia dapat meraih hidup yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Tetapi kalau salah cara mengamalkan agama, Ilmu dan seni tersebut, maka hidup ini pun akan menjadi sengsara karena ketiga hal itu. Banyak permusuhan terjadi karena kesalahan dalam mengamalkan agama. Banyak orang demikian ekstrim bersikap dalam hidupnya karena salah memahami ajaran Agama yang dianutnya. Demikian juga banyak derita yang timbul karena salah memahami dan menerapkan ilmu tersebut. Para ahli menyatakan ilmu tanpa kemanusiaan dapat menimbulkan dosa sosial. Demikian juga seni. Dalam konsep Satyam, Siwam, dan Sundaram, seni dengan keindahannya (sundarama) harus sebagai media untuk menguatkan pengamalan kebenaran (satyam) dan kesucian (siwam). Kalau seni hanya membangkitkan kesenangan hawa nafsu saja maka seni itu akan mubazir.
Albert Heinstain menyatakan bahwa Agama mengarahkan hidup, ilmu memudahkan hidup dan seni menghaluskan hidup. Ini berarti Agama, Ilmu dan Seni sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup. Agama Hindu memandang ilmu pengetahuan itu lahir dari Weda. Karena itu Weda disebut Weda Mata artinya Weda sebagai Ibu. Para Resi sebagai bidannya untuk melahirkan ilmu dari kandungan Weda Mata tersebut. Mengapa mantra-mantra Weda itu mengandung ilmu pengetahuan. Hal itu karena kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta ilmu yang disemayamkan di rahim Weda, Tuhan disebut Dewi Saraswati. Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh”. Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang : wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala)  dan bunga teratai. Dewi saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebelahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat Hindu di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati.
Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati. Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh, Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.

2.      Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai menjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kata Saras yang berarti “sesuatu yang mengalir” atau “ucapan”. Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis meskipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia. Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.
Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lotar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuna lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia, Aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia juga di Bali tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri diatas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri diatas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada disebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahuan, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali.
Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktifitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat.
Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi.
Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti Ilmu pengetahuan yang suci itu  memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.
Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor, tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja. Sedangkan air kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (Asta Dala) sebagai stana Tuhan.
Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduism menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam.
Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani. Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan.
 Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwana mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.
Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melalukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana.
Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab jika tidak Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugerah. Namun untuk memenuhi permohonan para Dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugerah kepada Kumbakarna.
Kumbakarna memohon anugerah yakni selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan “sukasada”. Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah “supta sada” yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang, dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugerah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu menghumbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II/17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga yang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut.
Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ketempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang Resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.
Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugerah apabila para Resi bersedia menjadi siswanya. Para Resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua Resi tetap berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para Resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati menghidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.
Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajna. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang bersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda Mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik.
Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi Saraswati menganggap kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diijinkan kembali ketempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari wangsa Brahmana itu amat kagum akan keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menunjukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai Brahmana pendeta sejati.
Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sungguh.

3.      Padma dan Hari Raya Saraswati
Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalm Kakawin Saraswati disebutkan bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu.
Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada.
Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga.
Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata.
Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua perumpamaan itu adalah suatu metode seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda.
Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh kesenian seni itulah yang akan dapat dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang Weda.  Sebaliknya kebenaran Weda (Satya) hendaknya menuntun manusia mewujudkan kesucian (Siwam) dan keharmonisan serta keindahaan hidup (Sundaram).
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga cara melakukan perayaan Rerahinan Saraswati yaitu :
a.      Yang sederhana sering disebut Nista, dengan melakukan persembahan Banten Saraswati di perpustakaan keluarga apalagi perpustakaan lembaga pendidikan dan lembaga instansi pemerintah maupun swasta.  Demikian juga menghaturkan banten seperti Canang Daksina dan kelengkapan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan masing – masing umat Hindu diberbagai tempat pemujaan Hindu dan disertai dengan sembahyang dengan Ista Dewata pada Sang Hyang Aji Saraswati.
b.      Yang menengah atau disebut tingkatan Madya disamping melakukan hal-hal yang dinyatakan sebagai pelaksanaan hari raya Saraswati yang sederhana tersebut, lakukan pula dengan menambahkan melakukan Brata Saraswati tidak membaca, tidak menulis dan tidak mematikan aksara sampai siang hari. Sedangkan pada malam harinya melakukan malam sastra setidak-tidaknya sampai lewat tengah malam.
c.       Yang Utama adalah dengan melakukan cara yang sederhana atau Nista dan Madia ditambah dengan puasa dan meditasi selama Hari Raya Saraswati. Perayaan Saraswati itu adalah tonggak peringatan agar kita selalu sadar akan memaknai Ilmu Pengertahuan tersebut dengan baik, benar dan tepat sehingga berguna bagi kehidupan umat manusia di bumi ini. Dewasa ini penerapan ilmu pengetahuan yang sudah semakin banyak kurang tepat sehingga dapat menggeser orientasi hidup manusia dari need ke want, maksudnya dari hidup berdasarkan kebutuhan menjadi hidup berdasarkan keinginan. Hal ini telah menimbulkan semakin rusaknya kelestarian alam dan semakin rusaknya kehidupan bersama manusia dalam berbagai wujud baik dalam kehidupan; bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam berbagai dimensi sosialnya.
Demikianlah sekilas tentang Hari Raya Saraswati sebagai ritual Agama Hindu yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar menggunakan ilmu pengetahuan itu sebagai sarana menyebarkan kebenaran (Satya) untuk membangun hidup yang suci (Siwam) dengan cara yang harmonis, dinamis, untuk mengindahkan hidup ini (Sundaram).

No comments:

Post a Comment