PEMAKNAAN
RERAINAN SARASWATI
1.
Pengertian
Saraswati
Saraswati
adalah nama Dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks mitologi, sakti diartikan
istri). Sakti sesungguhnya berarti kekuatan yang terwujud. Karena itu dalam
Wrehaspati Tattwa 14 dinyatakan : Sakti
ngarania sang sarwa jnyana sarwa karta. Maksudnya : Sakti namanya adalah
mereka yang memiliki banyak ilmu dan banyak karya berdasarkan ilmu yang
dimiliki. Dengan demikian Dewa Brahma adalah sinar suci Tuhan dalam wujud daya
spiritual Tuhan dalam menciptakan ilmu pengetahuan. Sedangkan Dewi Saraswati
adalah aspek Tuhan dalam mewujudkan ilmu itu menjadi nyata di bumi ini sehingga
dapat didayagunakan oleh manusia untuk dijadikan pegangan dalam
menyelenggarakan dan membenahi hidupnya di bumi ini agar menjadi semakin baik
dan benar untuk mencapai kehidupan yang bahagia di jalan Tuhan.
Dewi Saraswati diyakini
sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu
pengetahuan agar ilmu pengetahuan itu dirasakan bagaikan sinar menerangi hidup
ini. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh”. Di India umat Hindu mewujudkan Dewi
Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang : wina (alat
musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala)
dan bunga teratai. Dewi saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di
sebelahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat Hindu di India dipuja
dalam wujud Murti Puja baik dalam bentuk gambar maupun arca. Umat Hindu di
Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau Rerahinan Saraswati. Stana Sang Hyang Aji Saraswati disimbolkan
pada Aksara. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini
berarti Aksara itu atau huruf yang fungsinya untuk menyebarkan sabda Tuhan yang
merupakan kebenaran yang kekal abadi. Karena itu Aksara itu jangan
disalahgunakan untuk menuliskan hal-hal yang membuat manusia semakin jauh
dengan sabda Tuhan Yang Kekal Abadi itu.
Hari raya
untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari sabtu Umanis
Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu
Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan
Saraswati berarti mengambil dua waktu yaitu wuku Watugunung (wuku yang
terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk
mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan
yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Memuja Tuhan dalam mencari dan
menerapkan ilmu pengetahuan itu amat dianjurkan agar jangan kita sampai
menyimpang dari kaidah spiritual dalam mencari dan menerapkan ilmu pengetahuan
itu. Karena dalam Kekawin Nitisastra IV.19 dinyatakan bahwa ilmu (Guna) itu
salah satu dari tujuan penyebab kemabukan (timira). Barang siapa tidak mabuk
atau gelap hati karena tujuh hal itu dialah yang dapat disebut “sang mahardika”
atau orang yang merdeka secara rohani. Dialah yang seyogiyanya ditetapkan
sebagai seorang “pinandita”. Kekawin Nitisastra ini mengingatkan umat manusia
agar jangan samai mabuk karena merasa punya banyak ilmu.
Pada hari
Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama
dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka
yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang
paling inti adalah banten (sesajen)
Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang
lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten
sesayut Saraswati, dan banten tumpeng
dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh
lewat tengah hari.
Menurut
keterangan lontar Sundarigama tentang
Brata Saraswati, pemujaan Dewi
Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai
tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut
ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu
dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa,
setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan
melakukan malam sastra dan smbang samadhi. Besoknya pada hari
Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu
Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni
menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana
upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni
sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.
Yang sering
menjadi pertanyaan umat yang semakin intelek mengapa justru saat Hari Raya
Saraswati wujud perayaan yang tergolong utama justru umat dianjurkan untuk
tidak membaca dan menulis apalagi mematikan Aksara. Yang dimaksud dengan
mematikan Aksara adalah huruf Bali
kalau ditulkus dengan “mesuku dan menghulu”. Aksara Bali itu tidak dibaca.
Kalau Aksara “n” misalnya diisi hulu diatasnya maka Aksara “n” itu menjadi
“ni”. Kalau Aksara tersebut diisi suku dibawah aksara “n” itu akan menjadi
“nu”. Kalau aksara “n” itu diisi hulu diatasnya dan sekaligus juga diisi suku
dibawahnya maka aksara “n” itu tidak bisa dibunyikan. Itulah disebut mematikan
Aksara. Hal itulah yang tidak boleh dilakukan saat perayaan Saraswati. Tidak
boleh membaca, menulis dan mematikan aksara saat perayaan Saraswati itu
memiliki makna yang cukup dalam. Tidak membaca, tidak menulis dan tidak boleh
mematikan aksara itu bermakna sebagai saat melakukan jeda dengan perenungan
sejenak atau sehari untuk melakukan evaluasi pada kegiatan hidup sebelumnya
dalam memaknai ilmu pengetahuan dan etika penggunaan Aksara. Seorang pencari
ilmu itu disebut Brahmacari. Kata “Brahma” dalam hal ini artinya ilmu
pengetahuan suci dan “cari” berasal dari kata “Car” artinya bergerak aktif.
Brahmacari artinya orang yang sedang bergerak aktif mencari ilmu pengetahuan
untuk tujuan suci. Brahmacari dalam Agastya Parwa dinyatakan “Brahmacari ngarania sang mahabiasa sang
hyang sastra tur sang wruh ring kalingganing Sang Hyang Aksara”. Artinya
Brahmacari namanya adalah orang yang menjadikan belajar mencari ilmu
pengetahuan suci (Sastra) itu sebagai suatu kebiasaan dan mereka yang paham
dalam menggunakan hakekat Aksara. Saat melakukan jeda sehari itulah ajaran
Brahmacari itu dijadikan dasar untuk melakukan renungan. Kalau ternyata belum
dilakukan hendaknya ada kesadaran untuk bertekad melakukan upaya memperbaiki
agar makna adanya Saraswati itu dilakukan lebih baik kedepan.
a.
Saraswati
Sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan
Secara etimologi dan terminologi agama, Ilmu dan Seni dapat
dibeda-bedakan secara jelas dan gamblang. Tetapi dalam kehidupan empiris agama,
Ilmu dan Seni akan saling bersinergi luluh menyatu menjadi unsur yang
menguatkan hidup dan kehidupan manusia. Kalau tepat cara memadukan Agama, Ilmu
dan Seni tersebut dalam menyelenggarakan hidup dan kehidupan ini maka dengan
Agama, Ilmu dan Seni itu manusia dapat meraih hidup yang bahagia dan sejahtera
lahir dan batin. Tetapi kalau salah cara mengamalkan agama, Ilmu dan seni
tersebut, maka hidup ini pun akan menjadi sengsara karena ketiga hal itu.
Banyak permusuhan terjadi karena kesalahan dalam mengamalkan agama. Banyak
orang demikian ekstrim bersikap dalam hidupnya karena salah memahami ajaran
Agama yang dianutnya. Demikian juga banyak derita yang timbul karena salah
memahami dan menerapkan ilmu tersebut. Para ahli menyatakan ilmu tanpa
kemanusiaan dapat menimbulkan dosa sosial. Demikian juga seni. Dalam konsep
Satyam, Siwam, dan Sundaram, seni dengan keindahannya (sundarama) harus sebagai
media untuk menguatkan pengamalan kebenaran (satyam) dan kesucian (siwam).
Kalau seni hanya membangkitkan kesenangan hawa nafsu saja maka seni itu akan
mubazir.
Albert Heinstain menyatakan bahwa Agama mengarahkan hidup, ilmu
memudahkan hidup dan seni menghaluskan hidup. Ini berarti Agama, Ilmu dan Seni
sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kualitas hidup. Agama Hindu memandang ilmu
pengetahuan itu lahir dari Weda. Karena itu Weda disebut Weda Mata artinya Weda
sebagai Ibu. Para Resi sebagai bidannya untuk melahirkan ilmu dari kandungan
Weda Mata tersebut. Mengapa mantra-mantra Weda itu mengandung ilmu pengetahuan.
Hal itu karena kemahakuasaan Tuhan. Sebagai pencipta ilmu yang disemayamkan di
rahim Weda, Tuhan disebut Dewi Saraswati. Saraswati adalah nama dewi, Sakti
Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini
sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu
pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh”. Di India umat Hindu mewujudkan Dewi
Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang : wina (alat
musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala)
dan bunga teratai. Dewi saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di
sebelahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat Hindu di India dipuja
dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam
wujud hari raya atau rerahinan.
Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap
hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta
adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan
Saraswati.
Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung
(wuku terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna
untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu
pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu
pengetahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewi Saraswati. Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka
terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana
pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan
upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi
dengan air kumkuman (air yang diisi
kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah
dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak
boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama
tentang Brata Saraswati, pemujaan
Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi
sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang
menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak
membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh, Sedangkan bagi yang
melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis.
Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.
Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan
yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana
upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirta. Upacara ini penuh makna yakni
sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.
2.
Filosofi dan
Mitologi
Upacara
dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis
sebagai menjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati
berasal dari Bahasa Sansekerta yakni kata Saras
yang berarti “sesuatu yang mengalir” atau “ucapan”. Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata
Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari
ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada
henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis meskipun tiap hari
ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia. Sebagaimana disebutkan,
Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan
akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang
bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah
yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.
Dalam
upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan
dalam tumpukan lotar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula
buku-buku ilmu pengetahuna lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia, Aksara yang
merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau
lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan
seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia juga di Bali tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati
yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang
Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di
Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula
versi yang berdiri diatas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri diatas
bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada disebelah menyebelah
dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang
tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu
adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik
dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat
menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang
dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan Dewi Saraswati adalah
kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan
daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu
pengetahuan, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya
bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala
tetapi tanpa bau harum sama sekali.
Sedangkan
cakepan atau daun lontar yang dibawa
Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu
pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri
juga lambang atau alat untuk melakukan japa.
Ber-japa yaitu aktifitas
spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut
ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini
berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang
sesat.
Wina yaitu sejenis
alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya
amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu
mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi.
Bunga padma adalah
lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti Ilmu pengetahuan
yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan
Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu
pengetahuan.
Angsa adalah jenis
binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi
dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan.
Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor, tetapi yang masuk ke perutnya
adalah hanya makanan yang baik saja. Sedangkan air kotor keluar dengan
sendirinya. Demikianlah orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan,
kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka.
Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang
jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga padma atau bunga teratai adalah
bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (Asta Dala) sebagai stana Tuhan.
Burung
merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan
adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini Swami
Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction
of Hinduism menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan
menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu
harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa
karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi
Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan
alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di
dalam upakara yang disebut Banten
Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat
dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak.
Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur
cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam.
Menurut
para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa
binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada
getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi
pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan
kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk
memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.
Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang
kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu
bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga
berarti pengayoman.
Tentang
Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari
epos Ramayana. Dalam cerita tersebut
dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga
dunia terhindar dari kekacauan.
Alkisah
Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang,
tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama
Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang
terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya
supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian
membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna.
Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya
itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama
Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang
diharapkan dalam tapanya ini. Rahwana mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa
Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia
dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini
dikabulkan.
Selanjutnya
Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan
memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya
dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan
rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melalukan pemujaan kepada Tuhan.
Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana.
Begitu
Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang
sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak
menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa
yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan
keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa
Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab jika tidak Brahma merasa berlaku
tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan
tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugerah. Namun untuk memenuhi
permohonan para Dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu
Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk
membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugerah
kepada Kumbakarna.
Kumbakarna
memohon anugerah yakni selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya
mengucapkan “sukasada”. Namun akibat
Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut
raksasa tinggi besar itu adalah “supta
sada” yang artinya selalu tidur. Suka
artinya senang, dan supta artinya
tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugerah hidup bersenang-senang, maka
besar kemungkinannya ia selalu menghumbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar
hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan
Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan
dunia dari kekacauan.
Di
dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi
artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah
Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama
sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah
disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II/17. Karena itulah sungai Saraswati amat
dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau
Sapta Gangga yang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu
yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu.
Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta
Pitara dan Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab
suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut.
Di
lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama,
Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika
musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering.
Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit
didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah
ketempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih
setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal
di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap
mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan
lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya.
Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para
resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban
yang mutlak sebagai identitas seorang Resi. Gelar resinya akan tanpa makna
kalau sampai lupa pada isi Weda.
Keadaan
itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah
sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan
kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas
pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugerah apabila para Resi bersedia menjadi
siswanya. Para Resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada
yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini,
Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada
umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat
dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual
Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua Resi
tetap berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah
kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar
diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para
Resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati menghidupkan dan menyebarkan isi Veda ke
seluruh pelosok dunia.
Mitologi
Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya
Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra
Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajna. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi
dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa
diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah
padang pasir yang bersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir,
Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan,
turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan
Weda Mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua
pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik.
Kesucian
dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi
Saraswati menganggap kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun
diijinkan kembali ketempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di
tempatnya semula, pendeta dari wangsa Brahmana itu amat kagum akan keberhasilan
Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menunjukkan kemahirannya tentang Weda
baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang
bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan
semua resi sebagai Brahmana pendeta sejati.
Demikianlah
kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan
kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sungguh.
3.
Padma dan
Hari Raya Saraswati
Tentang
bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan
patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri.
Di dalm Kakawin Saraswati disebutkan
bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit.
Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai
aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni
itu.
Kecakapan
bagaikan aliran sungai Narmada.
Kemurnian
hatiku sebagai sungai Gangga.
Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati
berstana di mata.
Demikianlah
tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat
tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua
perumpamaan itu adalah suatu metode seni sastra agama untuk mendatang kehalusan
budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan
seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut
pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati
tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu
pengetahuan suci Weda.
Menggapai
kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan
oleh kesenian seni itulah yang akan dapat dasar untuk mencapai kesucian Sang
Hyang Weda. Sebaliknya kebenaran Weda
(Satya) hendaknya menuntun manusia mewujudkan kesucian (Siwam) dan keharmonisan
serta keindahaan hidup (Sundaram).
Dengan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga cara melakukan perayaan
Rerahinan Saraswati yaitu :
a.
Yang
sederhana sering disebut Nista, dengan melakukan persembahan Banten
Saraswati di perpustakaan keluarga apalagi perpustakaan lembaga pendidikan dan
lembaga instansi pemerintah maupun swasta. Demikian juga menghaturkan banten seperti
Canang Daksina dan kelengkapan lainnya yang disesuaikan dengan kemampuan masing
– masing umat Hindu diberbagai tempat pemujaan Hindu dan disertai dengan
sembahyang dengan Ista Dewata pada Sang Hyang Aji Saraswati.
b.
Yang menengah
atau disebut tingkatan Madya disamping melakukan hal-hal yang
dinyatakan sebagai pelaksanaan hari raya Saraswati yang sederhana tersebut,
lakukan pula dengan menambahkan melakukan Brata Saraswati tidak membaca, tidak
menulis dan tidak mematikan aksara sampai siang hari. Sedangkan pada malam
harinya melakukan malam sastra setidak-tidaknya sampai lewat tengah malam.
c.
Yang Utama adalah dengan
melakukan cara yang sederhana atau Nista dan Madia ditambah dengan puasa dan
meditasi selama Hari Raya Saraswati. Perayaan Saraswati itu adalah tonggak
peringatan agar kita selalu sadar akan memaknai Ilmu Pengertahuan tersebut
dengan baik, benar dan tepat sehingga berguna bagi kehidupan umat manusia di
bumi ini. Dewasa ini penerapan ilmu pengetahuan yang sudah semakin banyak
kurang tepat sehingga dapat menggeser orientasi hidup manusia dari need ke want, maksudnya dari hidup berdasarkan kebutuhan menjadi hidup
berdasarkan keinginan. Hal ini telah menimbulkan semakin rusaknya kelestarian
alam dan semakin rusaknya kehidupan bersama manusia dalam berbagai wujud baik
dalam kehidupan; bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam berbagai dimensi
sosialnya.
Demikianlah
sekilas tentang Hari Raya Saraswati sebagai ritual Agama Hindu yang sakral
untuk mengingatkan umat manusia agar menggunakan ilmu pengetahuan itu sebagai
sarana menyebarkan kebenaran (Satya) untuk membangun hidup yang suci (Siwam)
dengan cara yang harmonis, dinamis, untuk mengindahkan hidup ini (Sundaram).
No comments:
Post a Comment