Monday, April 30, 2012

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI BALI


I.      Pendahuluan
Om Swastyastu
Heterogenitas kehidupan masyarakat modern tak dapat dihindari dan hal tersebut telah terjadi dan akan terus terjadi mulai dari perkotaan sampai ke pelosok pedesaan nun jauh di pedalaman. Banyak alasan dapat dikemukakan mengapa hal tersebut harus terjadi yaitu : 1) Manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial sangat dinamis, selalu bergerak dan selalu ingin hidup lebih baik dalam berbagai aspek kehidupannya, 2) Manusia mempunyai hak dan pilihan untuk turut mengelola dan menikmati seisi alam ciptaan Tuhan, dimanamun merekan mau, 3) terkadang manusia terdesak ditempat asal dan bergerak ke wilayah lain untuk perbaikan hidupnya dan 4) perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni merangsang pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain.
Paling kurang dengan empat alasan di atas menyebabkan manusia bergerak mencari sesuatu di tempat yang dianggap lebih baik.Di tempat mereka tuju/pilih mereka menetap beradaptasi dengan masyarakat lingkungan yang sudah ada terlebih dahulu dan atau menetap dengan membentuk komonitas baru. Dari proses ini terwujudlah suatu masyarakat multikultur dengan ciri adanya keragaman dari sudut agama yang dianut yang diikuti dengan bentuk keragaman lainnya seperti keragaman suku, bahasa, adat istiadat, budaya, karakter, dan kondisi masyarakat itu sendiri. Bahkan di beberapa daerah, keragaman itu ditambah lagi dengan tumbuhnya berbagai aliran keagamaan pada setiap agama, yang sering memunculkan masalah baru di tempat dimana mereka tumbuh.Dalam kondisi masyarakat beragam atau heterogen, kerukunan harus dapat diwujudkan dengan baik agar cita-cita untuk hidup damai, harmonis, saling menerima dan saling menghargai perbedaan sebagai ide multikulturalisme bisa terealisasikan.


Pedoman yang dapat diangkat dalam mewujudkan kerukunan tentu tidak bisa hanya berdasarkan ketentuan yang ada dalam satu kelompok saja untuk semuanya.Misalnya harus berpedoman pada satu agama untuk semua golongan agama dalam berbagai aspek kehidupan pasti tidak bisa. Sebab semua pedoman yang berlaku di kelompok akan berlaku efektif bagi kelompok itu dalam mengatur tata kehidupannya dengan sebaik-baiknya.
Memang disadari bahwa ada beberapa bagian nilai-nilai sosial yang ada dalam setiap agama ada kesamaannya, bisa diangkat sebagai pedoman bersama akan tetapi banyak hal lainnya hanya cocok dan tepat untuk mengatur kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membina kerukunan dalam masyarakat yang heterogen, kearifan lokal sangat efektif untuk dijadikan landasan bersama dalam mewujudkan kerukunan.Setiap orang mengetahui bahwa setiap daerah memiliki kearifan lokal yang bisa dipahami untuk kemudian bisa disepakati dijadikan dasar dalam menjaga dan membina kerukunan hidup bersama.Di Bali terdapat beberapa kearifan lokal yang telah dijadikan pedoman oleh masyarakat sejak dahulu dalam menjaga keharmonisannya menghadapi tantangan hidup. Dalam tulisan ini akan dikemukakan tiga kearifan lokal yang sudah dikenal dan sebagian telah disepakati untuk dijadikan landasan hidup bersama di Bali. Ketiga hal dimaksud adalah 1) Sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya, 2) menyama braya, dan 3) tri hita karana dasar menjaga tiga hubungan harmonis yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhannya (Parahyangan), hubungan harmonis antara sesamamanusia (pawongan), dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Ketiga kearifan lokal diatas dapat dicoba dipahami dan dimengerti untuk kemudian bisa diterapkan dengan baik, niscaya kerukunan dapat dibina dan ide multikulturalisme dalam masyarakat heterogen seperti di Bali ini akan dapat terealisasi dengan baik pula.
Mengenai konsep kerukunan di Indonesia, oleh pemerintah sejak tahun delapan puluhan telah mencanangkan adanya tiga bentuk kerukunan beragama yaitu : 1) kerukunan intern (dalam agama masing-masing), 2) kerukunan antarumat beragama (antar pemeluk agama yang berbeda) dan 3) kerukuann antarumat beragama dengan pemerintah (pengaturan hidup beragama dan hidup bernegara). Tampaknya berdasarkan pengalaman pengalaman yang ada selama ini untuk mewujudkan kerukunan intern jika di intern itu ada masalah merupakan suatu penyelesaian yang paling sulit dilakukan.
Demikian pula untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama ataupun antarumat beragama dan pemerintah jika berpedoman pada satu aturan formal dari satu komunitas ataupun hanya berdasarkan aturan pemerintah juga agak sulit untuk diwujudkan.Namun jika dalam upaya mewujudkan kerukunan dan menjaga kerukunan hidup itu di samping berpedoman pada ketentuan dalam kelompok dan peraturan dari pemerintah, kemudian diperkuat landasannya dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang ada, maka harapan keberhasilan mewujudkan kerukunan berpeluang lebih besar.
Fenomena inilah yang menarik untuk dikaji guna dapatnya setiap orang berperanserta menjaga, memelihara, meningkatkan kerukunan hidup beragama di Bali yang sudah dicapai selama ini. Pemahaman ini perlu lebih dikembangkan tidak hanya dikalangan generasi tua (seperti yang terjadi selama ini), akan tetapi juga di kalangan generasi muda bahkan sudah harus ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini. Agar mereka bisa mendengar, mengerti, memahami, melakukan apa yang dimaksud kearifan lokal dan bagaimana memerankannya dalam mewujudkan kerukunan hidup beragama sejak dini. Bila kerukunan beragama bisa terwujud dengan terjaga dengan baik, maka pelaksanaan program pemerintah, program masing-masing majelis agama, dan program dari FKUB akan bisa dilaksanakan dengan baik dan lancar. Demikian pula dalam upaya mendukung pelaksanaan program Pemerintah Provinsi Bali yaitu Bali Mandara (maju, aman, damai, sejahtera) dengan penajaman Bali Clean and Green (bersih dan hijau, resik lan dayuh) akan bisa terwujud. Dalam hali ini ada tiga hal yang perlu dialami yakni : 1) Bagaimana kondisi Bali saat ini, 2) Sejauh mana pemahaman masyarakat beragama di Bali tentang konsep-konsep kearifan lokal dan kerukunan selama ini, dan 3) Upaya-upaya apa yang harus dilakukan dalam meningkatkan kerukunan beragama selama ini.

a.      Informasi Keagamaan Dibidang Kehidupan Beragama
Kondisi Bali saat ini dilihat dari sisi kependudukan sudah sangat heterogen. Penduduk Bali terdiri dari enam penganut agama yaitu : Hindu (3.217.595 jiwa), Islam (351.239 jiwa), Kristen (41.835 jiwa), Katolik (33.529 jiwa), Buddha (27.599 jiwa) dan Khong Hucu (204 jiwa) (Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali : 2011). Masing-masing agama memiliki majelis agama yang dapat melakukan pembinaan ke dalam dan melakukan diplomasi keluar dalam menyatakan eksistensinya. Dalam upaya membangun, menjaga dan memelihara kerukunan hidup beragama pimpinan dari majelis-majelis agama tersebut bersepakat membentuk Forum Komunikasi Antarumat Beragama (FKAUB) Bali tanggal 5 Februari 1999 dalam suatu kegiatan Musyawarah Antarumat Beragama di Bedugul. Pembentukan FKAUB Provinsi Bali ini diikuti oleh pembentukan FKAUB di tiap Kabupaten/Kota seluruh Bali. Dalam perkembangan selanjutnya  dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8,9 tahun 2006, maka FKAUB harus menyesuaikan diri dengan nama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk sejak tahun 2008. Forum ini telah menjalankan fungsinya dengan baik, sehingga sampai saat ini kerukunan umat beragama di Bali dipandang cukup baik kalau dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Namun karena kerukunan itu bersifat dinamis dan di dalam agama masing-masing tumbuh berbagai bentuk aliran keagamaan yang tidak bisa disentuh oleh FKUB, maka kecermatan dan peningkatan pelaksanaan program FKUB ke depan selalu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyelesaian konflik antar (suku, agama, ras) tampaknya lebih cepat dan lebih mudah dari pada penyelesaian konflik intern (etnis, agama, antar golongan). Hal-hal inilahyang seharusnya juga menjadi perhatian generasi muda (semua agama) agar terjadi regenerasi berjalan alami dan selalu bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik, lebih rukun, lebih damai, lebih sejahtera dari kondisi-kondisi sebelumnya.
Penduduk Bali di samping dapat diketahui dari kepenganutan agama dengan berbagai permasalahannya, juga dapat diketahui keberadaannya dari segi etnis. Liliweri (2005: 13) menjelaskan bahwa etnis atau etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras, maupun yang bukan kelompok ras, yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri.
Kependudukan menurut etnis di Bali dapat diketahui dari laporan tentang terbentuknya Forum Komunikasi Paguyuban Etnis Nusantara (FKPEN) Provinsi Bali tahun 2001 yang berkedudukan di Kota Denpasar. Forum ini dibentuk tahun 2001 dan untuk pertama kalinya diketahui oleh I Gde Suyatna.Tercatat ada 20 Etnis Nusantara. Ke-20 Etnis Nusantara dimaksud menjadi anggota FKPEN Provinsi Bali dan masing-masing etnis telah memiliki ikatan etnis sebelumnya yaitu (1) Ikatan Keluarga Batak, (2) Ikatan Keluarga Minang Saiyo, (3) Ikatan Keluarga Andalas Selatan, (4) Paguyuban Jawa Barat, (5) Paguyuban Banyumas, (6) Paguyuban Keluarga Yogya Ngeksigondo, (7) Paguyuban Keluagra Surakarta Mataram, (8) Ikatan Keluarga Surakarta Hadiningrat, (9) Ikatan Keluarga Malang, (10) Ikatan Keluarga Pagerboyo Surabaya, (11) Kerukunan Keluarga Madura, (12) Ikatan Keluarga Taliwang, (13) Ikatan Keluarga Besar Flobamora, (14) Ikatan Keluarga Irian Jaya, (15) Ikatan Keluarga Maluku, (16) Ikatan Keluarga Sulawesi Selatan, (17) Ikatan Keluarga Toraja, (18) Ikatan Keluarga Sangir Talaud, (19) Ikatan Keluarga Mahesa, dan (20) Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa.
Pembentukan FKPEM bertujuan untuk turut serta berperan aktif dalam proses pembangunan daerah Bali, menjaga kelestarian dan keajegan Bali, menciptakan suasana aman, serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam menjalankan peran dimaksud forum ikut aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni, dan sewaktu-waktu ikut serta dalam dialog antarumat beragama yang dilakukan di bali untuk bersama-sama menjaga/memelihara kerukunan umat beragama di Bali.
Di samping 20 etnis yang tergabung dalam FKPEN masih ada empat etnis lain yang tidak memiliki nama ikatan, dan tidak masuk dalam FKPEN seperti Etnis Sasak, Etnis Bugis, Etnis Dayak, dan Etnis Bali. Penduduk Bali disamping berasal dari Etnis Nusantara, juga ada sebagian kecil berasal dari etnis asing. Warga negara asing (WNA) yang menjadi penduduk Bali terdiri atas warga keturunan Cina, Keturunan Arab, India, New Zeland, Pakistan, Taiwan, Malaysia, Australia, dan lain-lain.
Berbagai etnis telah menjadi penduduk Bali dan etnis Bali merupakan jumlah terbesar sebagai penduduk asli. Etnis Bali tidak membuat paguyuban baru seperti yang dimiliki etnis lain dan tidak masuk dalam FKPEN karena, mereka sudah berhimpun dalam berbagai lembaga keagamaan dan lembaga tradisional lainnya seperti lembaga desa pakraman, banjar adat, dan beberapa sekaa sesuai keahlian dan keperluannya dan/atau perkumpulan-perkumpulan lain termasuk himpunan berbagai warga berdasarkan garis keturunan atau soroh. Ada pula yang tergabung dalam berbagai yayasan sosial keagamaan maupun yayasan sosial umum sesuai keperluannya, akan tetapi keberadaannya justru menjadi unsur terpenting/pendukung utama pelaksanaan pembangunan Bali. Heterogenitas masyarakat Bali di satu sisi (jika rukun) dapat dipandang sebagai modal untuk membangun kebersamaan, akan tetapi di sisi lain jika kerukunan belum mantap keberadaan masyarakat heterogen penuh resiko; sebab dalam masyarakat heterogen yang tidak rukun, konflik SARA mudah terjadi.
Di samping itu, masyarakat Bali yang sudah kondisinya heterogen saat ini masih ada tantangan lain yang perlu dicermati atau diwaspadai agar Bali tetap terjaga dan bisa mewujudkan masyarakat maju, aman, damai, dan sejahtera. Tantangan dimaksud antara lain : 1) di Bali telah terjangkit HIV/AIDS, yang terpantau lebih dari 4000 penderita, 2) orang stres/gila, depresi lebih dari 7000, 3) berjangkitnya penyakit yang belum pernah ada di Bali (sebelumnya) seperti Rabies, flu burung, flu babi, cikungunya. 4) Maraknya Cafe remang-remang yang sudah masuk jauh ke desa-desa di pedalaman yang merusak moral masyarakat desa, terutama para generasi mudanya, 5) Penjaja sex bebas di berbagai tempat, yang juga merusak moral generasi muda,  6) Tumbuhnya perkampungan kumuh dengan budaya yang saling berbeda, 7) munculnya tindak kekerasan seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, penodongan, pencopetan, pemerkosaan, hampir setiap hari terjadi. 8) Pencurian benda-benda sakral (pencurian pratima) sama artinya dengan pelecehan atau perusakan nilai agama tertentu, dan berbagai macam aksi-aksi lainnya yang membuat Bali tidak aman, Bali tidak asri.

b.      Arti dan Pemaknaan Kearifan Lokal
Istilah kearifan yang oleh Bangsa Yunani Kuno disebut dengan wisdom, merupakan gambaran kecerdasan (intellectual), moral, cara hidup atau kehidupan yang selaras dengan alam, atas dasar kejujuran dan keharmonisan (Supartha, 2007: 83). Sementara kata lokal berarti di suatu tempat atau setempat (Tim Penyusun, 1997:600).Pada uraian ini diakui adanya kecerdasan yang dimiliki masyarakat lokal (setempat) pada suatu komunitas tertentu, untuk kemudian kecerdasan dimaksud dapat dikembangkan guna mengatur kehidupan mereka agar bisa harmonis sesama anggota masyarakat. Disamping itu, kecerdasan yang dimiliki masyarakat lokal jika dipahami dengan baik akan dapat menangkal pengaruh negatif dari luar. Oleh karena itu, jika ada pengaruh dari luar; dengan kearifan lokal yang dimiliki itu, budaya luar yang cocok dapat diserap dan budaya luar yang tidak cocok dapat ditolak secara selektif dan tepat.
Sedyawati (2006: 382) menyatakan bahwa kata “Kearifan” dalam arti luasnya, tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk juga yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan dan estetika. Dengan demikian, “Kearifan Lokal” dapat diartikan sebagai “Kearifan dalam Kebudayaan Tradisional”, dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Disadari ataupun tidak, berarti setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai kearifan lokal, baik yang tumbuh dari budaya tradisional setempat, sebagai hasil adopsi budaya dari luar (termasuk adopsi nilai ajaran Agama) maupun sebagai hasil adaptasi budaya dari luar terhadap tradisi setempat.
Kearifan lokal dapat dicetuskan dalam slogan-slogan, dalam cerita-cerita rakyat, dalam perilaku kehidupan, dalam ekspresi kesenian, dan bahkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam bentuk slogan misalnya 1) Masyarakat Toraja menyatakan “Padaidi Padailo Sipatuwo Sipatukong” (kita sama kita sehidup semati), 2) Masyarakat Sumatra Barat mempunyai istilah “Dimana Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung” (maksudnya seseorang selalu harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat dan menghormati tradisi yang berlaku), 3) Patut, Patuh, Patcu ; slogan dalam Suku Sasak (maksudnya dalam hidup bersama harus berpegangan pada hal yang benar, taat, dan sungguh-sungguh). 4) Bagi masyarakat Bima di NTB ada slogan yang berbunyi “Ngahatana ngoho” (maksudnya semua orang perlu makan, tetapi jangan semua dihabiskan). 5) Begitu pula Suku Muna di Sulawesi Tenggara punya slogan bini-bini kuli (cubitlah diri sendiri); maksudnya orang terlebih dahulu harus bisa menasehati dirinya sendiri. 6) Untuk kearifan lokal di Bali ada slogan sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka (dengan semangat bertekad bulat menghadapi kondisi baik ataupun kondisi tidak baik/bahaya), menyama braya (memandang setiap orang seperti saudara atau orang dekat) dan banyak lagi yang lain, Tri Hita Karana, dan Tat Twam Asi.
Kearifan lokal dalam bentuk cerita rakyat banyak sekali seperti di Bali ada cerita Pan Balang Tamak yang mengandung pesan kritik sosial terhadap orang berkuasa.Cerita Bungkling (menunjukkan betapa taatnya rakyat miskin/orang kampung kepada pemimpinnya dan ketulusikhlasannya mengabdi kepada Sang pemimpin luar biasa), ada cerita Tantri (sebuah kecerdasan lokal dalam cerita untuk menyadarkan pemimpin yang serakah terutama pemimpin yang doyan perempuan), ada cerita bawang merah bawang putih yang mirip maknanya seprti cerita Cupak Gerantang. Dalam kedua cerita itu menggambarkan karakter orang bersaudara tidak sama, seorang malas memperbudak saudaranya yang rajin, memfitnah, mengakui hasil karya saudaranya sebagai hasil karyanya sendiri, serakah. Namun pada akhirnya (terdapat pesan) orang yang benar mendapat pahala kebaikan dan orang yang tidak benar mendapat pahala yang tidak baik.
Dalam berkesenian juga ada nilai kearifan lokal misalnya dalam seni suara/nyanyian Bali :Cakup-cakup balang, luung titi luung pengancan, tumbuh gigi becat mejalan. Maksudnya persatukanlah kekuatan (bala) itu, kuatkan landasannya (titi/jembatan) kuatkan juga pegangannya (pengancan), dengan demikian akan tumbuh (gigi) wibawa, jika sudah berwibawa maka segala langkah akan lancar-lancar saja. Misalnya seorang pejabat atau seorang tokoh yang berwibawa akan mudah untuk bertindak; hanya dengan nota segalanya bisa terjadi. Orang yang tidak berwibawa, notanya tidak laku.
Kearifan lokal dalam berkesenian yang lain, misalnya pada seni tari tergambar pada pentas seni yang menampilkan pihak yang benar akan selalu menang, pihak yang tidak benar akan menderita kekalahan dan kehancuran. Di dalam pelaksanaan upacara agama juga banyak terdapat nilai kearifan lokal seperti ada upacara penebusan, upacara penglukatan, upacara peleburan, dan sebagainya.Oleh karena itu, betapa pun modernnya masyarakat seperti di Bali, faktor kearifan lokal dari banyak contoh memperlihatkan atau memainkan peranan lebih dominan (Sadhono, 2002:81).
Berkaitan dengan pernyataan bahwa setiap suku bangsa memiliki nilai kearifan lokal, Laksemiwati (dalam Supartha, 2007:84) menyatakan bahwa kearifan lokal tersebut merupakan suatu keunggulan pola pikir manusia dan komunitas masyarakat setempat dalam membuat kebijakan strategis untuk berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya atas dasar filosofi, nilai-nilai, estetika, norma dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Hal ini mempertegas bahwa semua suku bangsa memiliki kearifan lokal yang meyimpan nilai-nilai luhur untuk menata kehidupan bersama, sepanjang hidup mereka. Hanya saja sering kearifan lokal itu terlupakan, tidak diteruskan kepada generasi berikutnya, tergeser atau terpendam, sebagai akibat adanya desakan nilai-nilai sosial lain yang berkembang kemudian.

Kearifan lokal Bali cukup banyak adanya, baik kearifan lokal asli, yang muncul dari budaya tradisional etnis Bali, kearifan lokal hasil adopsi dan modifikasi budaya luar, maupun hasil penyerapan nilai ajaran agama Hindu yang menjiwai budaya Bali itu sendiri sebagaimana dicontohkan dalam uraian di atas. Setiap kearifan lokal memiliki penekanan pada suatu nilai tertentu untuk dipedomani di dalam masyarakat.Ada penekanan pada nilai kebersamaan, pada nilai persaudaraan, nilai senasib sepenanggungan, nilai keunggulan semangat dalam perjuangan hidup dan notivasi spiritual agama (taksu).Kesemuanya diterima dan dipedomani dalam menata kehidupan bersama masyarakat Bali selama ini.Namun demikian, diantara sekian banyak kearifan lokal Bali yang ada, sebagian besar telah dilupakan. Ada pula kearifan lokal yang masih diingat hanya dalam wacana, akan tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana makna yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut.
Pada dialog-dialog antarumat beragama yang dilaksanakan di Bali selama ini beberapa kearifan lokal Bali pernah dijadikan materi dialog, seperti kearifan lokal Bali menyama braya(persaudaraan), kearifan lokal tat twam asi, yaitu kata-kata dalam filsafat Hindu yang berarti (tat=itu, twam=engkau, asi=adalah) “engkau adalah itu” (Tim Penyusun, 2005:128). Tat twam asijuga diartikan “engkau adalah dia” yang mengajarkan kesosialan tanpa batas; karena diketahui bahwa “ia adalah kamu” (PHDI, 2006:50). Kearifan lokal lain yang pernah juga disinggung sepintas dalam dialog antarumat beragama adalah (1) kearifan lokal yang berbunyi sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya (suatu semangat, tekad bulat dan saling mengisi dalam menghadapi masalah hidup dan kehidupan).
Dalam hubungannya dengan kehidupan ekonomi Sudibya (1997:146) mengatakan menyama braya :dharma artha kama dan moksa mengandung muatan makna pendistribusian kesejahteraan ekonomi harus memuat cita-cita keadilan. Ada juga kearifan lokal Bali yang disebut tri hita karana (tiga penyebab kesejahteraan).Menurut Sudibya (1997:162) konsep kearifan lokal tri hita karana mengajarkan kepada masyarakatnya adalah terjaganya keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya.

Kearifan-kearifan lokal Bali tersebut pernah diperkenalkan di dalam dialog-dialog antarumat beragama yang dilaksanakan selama ini di Bali.Di antara sekian banyak kearifan lokal yang pernah didialogkan, kearifan lokal menyama braya yang dianggap mempunyai nilai strategis dalam pembinaan dan pengembangan kerukunan dalam kehidupan bersama umat beragama di Bali.Oleh karena itu, kearifan lokal menyama braya mendapat pembahasan lebih mendalam dan dilaksanakan secara terus menerus sampai memperoleh titik temu; yaitu semua peserta dialog bersepakat menerima dan menggunakannya sebagai pedoman bersama.
Di dalam dialog antarumat beragama pada tahun 2002 kearifan lokal menyama braya sebagai konsep budaya leluhur di Bali itu dibahas dan ternyata mendapat respon yang positif, baik dari pemuka-pemuka Agama Hindu, maupun dari tokoh-tokoh Agama Islam, Kristen, Katolik dan Budha, karena hakekatnya sudah sejalan dengan ajaran Agama masing-masing. Oleh karena itu, kearifan lokal Bali, khususnya kearifan lokal menyama braya merupakan salah satu faktor pendorong pelaksanaan dialog antarumat beragama dalam upaya menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama di Bali.
Sebagai materi dialog, kearifan lokal menyama brayatelah ditampilkan sejak dialog pertama tahun 2000 sampai dengan dialog pada tahun 2003 secara intensif, kemudian pada dialog-dialog berikutnya kearifan lokal menyama braya ini telah diterima dan dipedomani serta diterapkan pada setiap pelaksanaan dialog. Adapun kearifan lokal Bali yang lain, hanya dibahas sepintas saja sebagai pengenalan secara umum dari materi dialog yang terkait. Keunggulan kearifan lokal balimenyama braya, jika dibandingkan dengan kearifan lokal Bali lainnya ialah karena kearifan lokal menyama braya mengandung makna persaudaraan dalam arti bersaudara (nyama), persaudaraan dengan orang lain seperti saudara (braya).

c.       Kearifan Lokal Menyama Braya dan Ajaran Agama
Pada dialog antarumat beragama di Bali yang digelar pada tahun 2002, masing-masing pemuka agama menyampaikan pandangannya mengenai kearifan lokal Bali menyama braya yang ada relevansinya dengan ajaran Agama masing-masing sebagai berikut.

Soputan (2002:1) sebagai pembicara dan peserta dialog dari Pemuka Agama Kristen menyatakan bahwa budaya menyama braya relevan untuk meningkatkan keharmonisan dan memperteguh kerukunan hidup antarumat beragama di daerah Bali, membangun peradaban yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam hal ini berarti, kearifan lokal menyama braya dipahami sebagai hal yang mengandung nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, sehingga perlu dikembangkan lewat dialog antar umat beragama. Selanjutnya dinyatakan bahwa :
Dari sudut pandang Agama Kristen, dipandang perlu mendalami pemahaman ajaran kasih dan tugas panggilan gereja, yang melandasi implementasi budaya menyama braya serta paradigma baru umat Kristen dalam menyikapi arus reformasi dan menjawab perubahan jaman tri tugas panggilan gereja, yakni marturia(kesaksian, memberitakan firman Tuhan sebagai berita sukacita), diakonia (pelayanan perhatian kepada mereka yang menderita/tertindas/kekurangan), dan koninia (persekutuan termasuk membina hubungan dengan sesama manusia). Tugas panggilan gereja ini terutama pelayanan persekutuan mempunyai relevansi dengan budaya menyama braya.(Soputan, 2002:2).
Pernyataan Soputan sebagai tokoh Agama Kristen diatas, menunjukkan bahwa ada kesepadanan nilai kearifan lokal menyama braya (persaudaraan) dengan nilai ajaran Agama Kristen kasih sayang; dan tentunya dapat dipandang sebagai faktor pendorong pelaksanaan dialog antar umat beragama di Bali. Dalam dialog-dialog selama ini memang tampak telah menyelaraskan nilai kearifan lokal tersebut dengan ajaran Agama Kristen, sehingga ada keterbukaan peserta dialog antar umat beragama dan dapat memperlancar pelaksanaan dialog itu sendiri.
Anshori (2002:5) Tokoh agama Islam di Provinsi Bali, mengemukakan bahwa apa yang terkandung dalam ajaran Rukun Islam adalah prinsip-prinsip universal yang amat berguna untuk pengembangan kehidupan nyama braya yang etis dan damai. Rukun Islam dimaksud telah digambarkan Anshori (2002:3) yaitu (1) Sahadat, (2) Shalat, (3) Zakat, (4) Puasa, dan (5) Haji. Dijelaskan disini implementasi rukun Islam dimaksud adalah (1) Menghargai persamaan atau kebersamaan, (2) Menghargai pluralitas budaya, (3) menjauhkan diri dari sifat serakah, sombong, egois (SSE), (4) Mengembangkan keadilan sosial, dan (5) Mengembangkan kesejahteraan. Dinyatakan juga (Anshori, 2002:6) bahwa kearifan lokal nyama braya adalah pranata sosial yang unggul.Hal ini dibuktikan dengan adanya sebutan masyarakat Bali (Hindu) terhadap sesama saudaranya seperti Nyama Selam, Nyama Kristen, Nyama Kristen.Berkembangnya tali silaturahmi nyama braya berbentuk hubungan baik dan kerja sama antar warga bangsa yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali.
Suharlim (2002:3) Tokoh agama Buddha, juga menyatakan bahwa menyama braya adalah sikap dan perilaku masyarakat Bali yang mengakui dan menerima mereka yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan sebagai saudara dan kekerabatan.Pernyataan ini didukung oleh Sudiarta (43 Tahun) tokoh agama Buddha yang ada di Provinsi Bali menyatakan tentang kearifan lokal menyama braya sebagai berikut.
“Adanya dialog antarumat beragama membawa sikap masyarakat di Bali sangat terbuka, menerima dan mengakui kearifan lokal Bali menyama braya. Bagi umat Buddha di Provinsi Bali telah sampai pada penerapannya. Buktinya, pergaulan di masyarakat menyatu, jika membangun balai banjar atau tempat ibadah seperti misal di lingkungan Padang Udayana umat Buddha selalu ikut serta, dan jika Umat Buddha membikin acara di Vihara selalu mengundang masyarakat lingkungan dan bahkan pejabat dari berbagai Agama. Intinya hubungan lintas agama sangat baik dengan landasan kearifan lokal bali menyama braya”. (Ngurah, 2010:264)
Berangkat dari pemahaman terhadap pandangan para tokoh-tokoh agama tentang kearifan lokal menyama braya terurai diatas, ada relevansinya dengan ajaran agama masing-masing.Pengakuan kearifan lokal menyama braya ada kesepadanan dengan nilai (persaudaraan) pada setiap agama. Pandangan dan pengakuan tersebut mengandung dampak positif dalam pelaksanaan dialog, dimana dialog menjadi lancar, baik dalam proses pelaksanaan dialog maupun pada saat peserta dialog akan merumuskan suatu hasil rumusan dialog yang menjadi pedoman dialog-dialog berikutnya. Oleh karena itu, disinilah tampak bahwa fungsi kearifan lokal, khususnya kearifan lokal menyama braya merupakan salah satu faktor pendorong pelaksanaan dialog antarumat beragama di Bali selama ini, sehingga kerukunan antarumat beragama di Bali sampai saat ini terpelihara dengan sangat baik. Dengan kata lain membangun kerukunan hidup beragama lebih mudah kalau dilandasi oleh kearifan lokal (setempat) daripada berlandaskan salah satu ajaran agama yang ada di setempat.

Disamping kearifan lokal menyama braya, sering pula disinggung didalam dialog-dialog antarumat beragama mengenai kearifan lokal Bali tentang tri hita karana.Tri hita karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya (Pemda Bali, 2000:77). Penerapan tri hita karana bagi masyarakat Bali mencakup tiga hal yaitu : 1) Adanya Parhyangan (tempat suci) dalam rangka menjaga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 2) adanya Pawongan (segi sosial/kemasyarakatan) dalam rangka menjaga dan memelihara hubungan sesama manusia (wong), dan 3) adanya Palemahan (wilayah) dapat dijumpai dalam berbagai betuk dan fungsi, yaitu Palemahan (wilayah) dalam rangka menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.
Ke depan kearifan lokal Bali tri hita karana ini dapat dikaji, dicari kesepadanan nilainya dalam setiap agama, kemudian dipahami maknana untuk kepentingan hidup bersama, sehingga dapat disepakati penerapannya seperti kearifan lokal menyama braya terurai diatas.  Tri hita karana memang perlu dipahami agar kita di Bali bisa sama-sama menjaga tiga hubungan tersebut menurut konsep agama masing-masing, sehingga kerukunan hidup beragama di Bali dapat dibangun lebih mantap lagi.
Perlu dikemukakan di sini bahwa penerapan tri hita karana bagi masyarakat Bali (hindu) selama ini tampak sebagai berikut. 1) Mengenai parhyangan penerapannya dengan membangun tempat suci secara teritorial dan fungsional yaitu untuk di tingkat daerah berupa kahyangan jagat, untuk tingkat desa kahyangan tiga/kahyangan desa, dan tingkat keluarga berupa merajan (merajan Agung, padharman), sanggah/sanggah gede, dadya, panti dan juga padharman. 2) Palemahan di tingkat daerah merupakan wilayah seluruh Bali (seluruh wilayah tanah air Bali adalah wilayah desa pakraman), dan di tingkat desa disebut asengker Bale Agung, untuk di rumah tangga disebut karang sikut satak (kurang lebih 20 are).
Mengingat setiap komunitas masyarakat memiliki kearifan lokal dan nilai kearifan lokal tersebut bisa dijadikan landasan yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan hidup bersama, maka tidaklah salah kalau dialog antarumat beragama di Bali pada tahun 2005, 2006,2007 mengangkat kearifan lokal masyarakat Sumatra Barat “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” untuk memperkuat kerukunan terutama antara penduduk pendatang dengan penduduk setempat. Hal ini ditarik dari makna kearifan lokal dimaksud bahwa setiap orang yang ingin berada disuatu daerah harus dapat menyesuaikan diri dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku yang ada di setempat.

II.   Informasi Keagamaan di Bidang Kehidupan Beragama
a.      Bidang Kerukunan
Mengenai kerukunan, khususnya kerukunan umat beragama di dalam peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9, 8 Tahun 2006 Pasal 1 dinyatakan sebagai berikut.
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, mengharigai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Nudzhar, 2007:54)
Bertitik tolak dari pengertian diatas, bahwa kerukunan itu merupakan suatu kebutuhan bersama yang perlu dibangun bersama umat beragama. Jalan terbaik untuk membangun kerukunan adalah melalui pelaksanaan dialog antarumat beragama. Melalui dialog akan diperoleh pemahaman tentang diri sendiri dan pemahaman terhadap pihak lain/lawan dialog. Di antra agama-agama yang ada biasanya terdapat banyak persamaan makna ajaran di samping banyak pula ada perbedaan-perbedaan prinsip pada setiap agama. Dengan pemahaman adanya perbedaan itu tumbuhlah sikap saling pengertian, saling menghormati dan saling menghargai perbedaan; dan dari pemahaman adanya persamaan akan tumbuh toleransi satu dengan yang lain dan selanjutnya sepakat untuk membangun kerukunan hidup bersama.
Dalam hal ini dapat diambil sebagai misal isi ajaran masing-masing agama tentang makna kerukunan hidup, dan sikap toleransi, yang pernah dihimpun sebagai hasil dialog antarumat beragama tanggal 3-5 Februari 1999 di Bedugul Bali sebagai berikut.
1.      Butir-butir kerukunan menurut agama Hindu
a)      Tri Kaya Parisudha, yaitu orang hendaknya selalu berpikir yang baik dan benar, berkata yang baik dan benar terhadap semua makhluk (Sarasamuccaya sloka. 73)
b)      Berkumpul dan bermusyawarah satu sama lain, satukanlah pikiranmu sebagaimana halnya para dewa yang selalu bersatu (Regveda X.192.2)
c)      Tumbuhkanlah rasa sabar dan tahan uji seperti ibu pertiwi, jika tidak maka akan timbul permusuhan, kemurkaan dan pertengkaran (Sarasamuccaya, sloka 94)
d)      Manusia yang utama sejati adalah manusia yang dapat bersahabat dengan semua makhluk (Manawa Dharma Sastra II.87).
e)      Jalan manapun yang ditempuh manusia asal menujuKU semuanya akan KU terima (Bhagawadgita.IV.11)
f)       Dengan saling menghormati engkau akan mencapai kebajikan tertinggi (Bhagawadgita II.11)
g)      Bhineka Tunggal Ika Tan Ana Dharma Mangrwa, yaitu walau berbeda-beda tetapi hakikatnya satu jua, tidak ada kebenaran yang kedua (Kakawin Sutasoma, pupuh CXXXIX) (Sediawati, tt:30)
2.      Pedoman Kerukunan dalam ajaran agama Islam
a)      Hai manusia sesungguhnya AKU menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (Qs.: Al Hujurat 13)
b)      Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (Qs.:Al Kafirun: 6)
c)      Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (QS.A. Baqoroh 256)
d)      Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (Qs.Almaidah:8)
e)      Orang muslim itu ialah orang lain merasa aman dari gangguan tangan dan lidahanya (Hr.Jama’ah)
f)       Tidaklah beriman seseorang kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (Hr.Buchori dan Muslim)
g)      Sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak memberikan manfaat kepada manusia (Hr.Jabir)
h)      Bukanlah seorang Mukmin, dirinya kenyang sedang tetangga sebelahnya lapar (Hr.Ibnu Abbas).


3.      Pedoman Kerukunan dalam ajaran agama Kristen
a)      Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)
b)      Berbahagialah orang yang membawa damai karena akan disebut anak-anak Allah (Matius 5:9)
c)      Hiduplah selalu damai seorang dengan yang lain (I Telasonika 5:13b).
d)      Jangan kamu sendiri yang menuntut pembalasan, pembalasan itu adalah hak Allah. Jika seterumu lapar, berilah dia makan, jika dia haus berilah dia minum. Jangan kamu kalah terhadap kejahatan, kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan. (Pesan Rasul Paulus-Roma 12: 19 s/d 21)
4.      Pedoman Kerukunan dalam ajaran agama Katolik
a)      Kamu saling mengasihi, sama seperti aku telah mengasihi kamu. Demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yohanes 13:34)
b)      Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Lukas 10:27)
c)      Kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu (Lukas 6:27)
5.      Butir-butir kerukunan menurut agama Buddha
a)      Jangan mencemoh dan menghina agama lain, seharusnya kita menghormati agama lain, dengan berbuat itu agama kita sendiri berkembang, jika kita berbuat sebaliknya, kita akan menggali lubang kubur untuk agama kita sendiri (Upali Sutra dan Dekrit Raja Asoka)
b)      Siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lain, hanya akan merendahkan agamanya sendiri. Kerukunan antarpenganut agama atau kepercayaan patut dihargai. Hendaknya kita mendengar dan memahami agama yang baik dari agama lain (Prasasti Raja Asoka)
c)      Pergilah berkelana, demi kesejahteraan banyak orang, demi kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang terhadap dunia, demi manfaat, kesejahteraan, dan demi kebahagiaan manusia (Pesan Buddha Gautama pada 60 orang Bhikkhu yang menjadi muridnya).
d)      Cinta kasih, kasih sayang, perasaan senang dan gembira melihat orang lain senang dan gembira, dan keseimbangan batin (Catur Paramita)
e)      Berbahagialah mereka yang dapat bersatu, berbahagialah mereka yang tetap dalam persatuan (Dharmapada,194)
6.      Butir-butir pedoman kerukunan dalam agama Khong Hucu
a)      Bila tidak menuntut diri sendiri jangan menuntut orang lain. Bila diri sendiri belum dapat bersikap tepasalira, tetapi berharap dapat memperbaiki orang lain, sungguh belum pernah terjadi (Da Xue IX:4)
b)      Demikianlah caranya bergaul dekat denga orang lain (Li Ji XXXVIII:6)
c)      Maka Pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang itu tergantung pada diri pribadinya; untuk membina diri itu harus hidup dalam jalan suci dan untuk membina jalan suci itu harus hidup dalam cinta kasih (Tengah Sempurna XIX:4)
Pandangan tentang kerukunan yang diambil dari ajaran agama masing-masing terurai di atas menunjukkan adanya kesamaan nilai hidup bersama untuk bisa rukun, saling berdampingan secara harmonis, tidak saling mengganggu dan terganggu. Nilai-nilai dimaksud antara lain (1) tentang perlakuan sebaik-baiknya terhadap diri terlebih dahulu baru perlakuan terhadap orang lain, (2) bahwa orang lain ada persamaannya dengan diri sendiri, (3) nilai cinta kasih perlu dikembangkan untuk sesama, (4) nilai kasih sayang, dan (5) nilai kedamaian. Jika nilai-nilai yang mulia dari masing-masing agama tersebut bisa dijadikan titik temu dan pedoman bersama, maka hidup rukun yangsejati akan n bisa dicapai sebagai modal memantapkan wujud masyarakat multikultural khususnya di Bali yangkeberadaannya harus diterima sebagaimana adanya. Kerukunan akan bisa terwujud dengan lebih mantap lagi bila didukung oleh penerapan kearifan lokal yang mempunyai persamaan nilai kebersamaan dalam setiap agama.
Hal-hal yang dapat dipahami dengan mudah mengenai pebedaan setiap agama adalah berkenaan dengan (1) sejarah kelahiran dari masing-masing agama, (2) perjalanan atau perkembangannya ke seluruh dunia sampai masuknya di Bali, (3) tata cara ibadah masing-masing  agama, (4) sarana dan prasarana beribadahnya, (5) bahasa yang dipergunakan dalam kitab suci masing-masing agama, dan (6) isi ajaran terhadap berbagai aspek kehidupan beragama dan kehidupan bermasyarakat (seperti pandangan tentang makanan dan minuman, cara berpakaian, masalah perkawinan, dan lain-lainnya).


b.      Membangun Kerukunan
Membangun kerukunan hidup beragama (untuk Bali tinggal pemeliharaan kerukunan yang selama ini telah dibangun) merupakan pembagunan bidang agama dan pembangunan bidang agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional. Mengenai kerukunan tersebut, Perwiranegara (1982:15) menyatakan bahwa agama dituntut untuk dapat memberikan jawaban dan setidak-tidaknya harus memberikan jalan keluar, atau sekurang-kurangnya memberi motivasi terhadap pembangunan, sebab pembangunan lewat jalur agama adalah jalan yang paling mudah dan akan cepat keberhasilannya. Pelaksanaan dialog antarumat beragama untuk membangun kerukunan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional bidang agama.

c.       Kearifan Lokal dalam Membangun Bali
Pembangunan Bali dituang dalam salah satu program, disebut Bali Mandara (aman, damai, dan sejahtera).Kini program Bali mandara dipertajam ke dalam upaya Bali clean(resik)andgreen (dayuh). Semua pihak atau siapapun dia yang berdomisili di Bali, menjadi penduduk Bali, sebagai warga Bali, dan yang mencintai Bali (besar kecil, tua muda, laki perempuan) wajib mensukseskan pembangunan Bali dengan penajaman Bali clean dan green. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memantapkan kerukunan hidup umat beragama yang telah dicapai selama ini.
Di atas telah disinggung bahwa ada tiga kerukunan yang perlu dimantapkan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah.Kerukunan intern masing-masing agama sangat menentukan eksistensi dari komunitas agama itu sendiri. Jika kerukunan intern masih bermasalah akan bisa berpengaruh terhadap kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Tampaknya selama ini kerukunan intern agama masih banyak ganguannya; salah satu penyebabnya adalah munculnya aliran keagamaan dalam agama tersebut.Hal ini dinyatakan sangat sulit untuk diselesaikan di setiap agama.
Kerukunan antarumat beragama yang ditangani langsung oleh FKUB selama ini cukup baik terutama di tataran atas, namun di tataran bawah masih banyak masalah dan keberadaannya belum merata.Oleh karena itu, kerukunan antarumat beragama yang sudah dicapai perlu dimantapkan, dan kerukunan yang belum merata dan masih bermasalah perlu dicarikan pemecahannya. Setiap masalah perlu dipecahkan, kalau tidak akan dapat memunculkan konflik-konflik sosial atau konflik SARA, sebagaimana halnya terjadi di berbagai daerah di luar Bali selama ini.
Adapun mengenai kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah untuk di Bali saat ini masih cukup baik.Namun demikian perlu juga selalu diadakan evaluasi dan pemantapan dengan mengadakan berbagai kegiatan sarasehan, dialog, kegiatan sosial bersama dan hasil-hasil kegiatannya didokumentasikan, disosialisasikan secara merata pada seluruh umat beragama. Menyimak keberadaan kerukunan di antara tiga betuk kerukunan (kerukunan intern, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah) selama ini di Bali ternyata kerukunan internlah yang paling susah diwujudkan. Maka dari itu, upaya selanjutnya adalah mengusahakan peningkatan kerukunan itu sendiri mulai dari kerukunan intern, kerukunan antarumat beragama dan akhirnya kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah dengan sungguh-sungguh dan pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas termasuk dana yang memadai. Jangan sampai pemerintah kebakaran jenggot; setelah ada konflik baru sibuk dan berupaya mengumpulkan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan masalah konflik atau gangguan kerukunan umat beragama.
Upaya untuk meningkatkan kerukunan di Bali, salah satu cara adalah dengan menambah pemahaman terhadap eksistensi nilai kearifan lokal yang ada. Kearifan lokal yang sudah disepakati sepeti menyama braya kini tinggal memantapkan dan disosialisasikan secara merata dan berkelanjutan. Kearifan lokal yang lain perlu digali, dikaji, kemudian disepakati sebagai pedoman dalam memelihara kerukunan hidup bersama. Demikian pula dalam rangka mendukung pelaksanaan program Bali mandara ataupun Bali clean dan green sangat perlu dipahami dan disepakati kearifan lokal Bali tentang tri hita karana. Jika dipandang perlu kearifan lokal yang digali dan dikaji serta dijadikan pedoman bersama bukan hanya dalam bentuk slogan, akan tetapi bisa juga memahami kearifan lokal dalm bentuk cerita rakyat, nyanyian tradisional, dan perilaku-perilaku yang dapat diteladani. Pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap tahun dapat dipandang sebagai suatu kearifan lokal Bali yang dapat mendekatkan masyarakat Bali dari berbagai etnis, masyarakat nusantara, bahkan masyarakat internasional untuk mewujudkan kerukunan hidup lewat budaya berkesenian. Demikian pula pada kegiatan pembangunan, pasar murah, dan kegiatan lain yang selalu ada paling kurang setahun sekali dapat dimanfaatkan sebagai ajang kerukunan masyarakat Bali dalam arti yang luas. Oleh karena itu, pada even-even tersebut semua komunitas masyarakat budaya, paguyuban, komunitas agama mestinya dapat berperan aktif menampilkan kearifan lokal masing-masing dalam berbagai bentuknya yang dapat dipahami semua pihak demi memantapkan kerukunan masyarakat Bali.

d.      Manajemen KUA
Ø  Pelayanan Pernikahan Siri, Biaya, Bawah Umur
1.      BIAYA NIKAH
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas  Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyebutkan bahwa Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan, Biaya Pencatatan Nikah Rujuk per peristiwa sebesar Rp. 30.000,-
2.      NIKAH DI BAWAH UMUR
Selain UU No. 23 tahun 2001 tentang  Perlindungan Anak ada UU alternatif lain yang bisa dijadikan acuan dalam mencegah (menolak)  perkawinan anak di bawah umur, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU No.1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
3.      NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah:
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jama‟ahnya, sekalipun keluarga setempat”
Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukuman had.
Nikah sirri menurut terminologi fiqh tersebut adalah tidak sah. Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah dan buruk sangka, juga bertentangan dengan hadis-hadis Nabi. Menurut hukum positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab tersebut di atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syariat Islam sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang perkawinan.

Ø  Wakaf
Keberadaan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat banyak menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Sehingga masyarakat Indonesia sudah selayaknya mengoperasikan UU Wakaf secara positif. UU Wakaf ini merupakan penyempurnaan peraturan perundangan wakaf sebelumnya sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif wakaf secara produktif dan professional.
Pembangunan atas harta wakaf harus mendapatkan perhatian sehingga harta wakaf yang dikelola oleh nazhir dapat dikembangkan menjadi wakaf produktif. Dimana hasil dan manfaat wakaf tersebut dapat berubah dan meningkat yang dapat meningkatkan pahala wakif serta dapat membantu kemaslahatan umat demi kemakmuran. Dalam mengelola wakaf produktif nazhir sebagai pengelola harus mengoptimalkan hasil dari tanah wakaf tersebut. Pola pendekatan dalam mengoptimalkan hasil pengelolaan wakaf sebagai berikut :
1.      Meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan fungsi wakaf kepada yang bersifat manfaat dan produktif.
2.      Mengupayakan bermitra dengan pihak luar dalam mengembangkan fungsi wakaf dengan unsur-unsur Pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat, Konsultan dan Pelaku Ekonomi.
3.      Mengoptimalkan penggunaan wakaf untuk kegiatan ibadah, pendidikan, sosial dan kemasyarakatan.
4.      Meningkatkan kemampuan nazhir untuk pengelolaan wakaf melalui diklat, orientasi dan studi banding.
Dasar Hukum
1.      Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
2.      Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik
3.      Peraturan Menteri Agama No. 1 Th.1978, tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik
4.      Instruksi Bersama Menteri Agama RI, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
-          No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan PP No. 28/1977
-          No. 1 Tahun 1978
5.      Instruksi Bersama Menteri Agama RI, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
-          No. 4   Tahun 1990,   tentang Sertifikat Tanah Wakaf
-          No. 25 Tahun 1990
6.      SK Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.15/1990 Tentang Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik
7.      Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang 11 Mei 2002
Standar Minimal Pengelola Wakaf
1.      Beragama Islam
2.      Mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum)
3.      Baligh (sudah dewasa)
4.      Aqil (berakal sehat)
5.      Professional (memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf)
6.      Memiliki sifat amanah, jujur, dan adil 
Pola Pendekatan dalam Mengoptimalisasi dan Keberhasilan Pengelolaan Wakaf :
1.      Meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam mengembangkan fungsi wakaf kepada yang bersifat menfaat dan produktif
2.      Mengupayakan bermitra dengan pihak luar dalam mengembangkan fungsi wakaf dengan unsur-unsur Pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat, Konsultan dan Pelaku Ekonomi
3.      Mengoptimalkan penggunaan wakaf untuk kegiatan ibadah, pendidikan, sosial dan kemasyarakatan
4.      Meningkatkan kemampuan nazhir untuk pengelolaan wakaf melalui Diklat, orientasi dan studi banding
Peluang Dan Tantangan
1.      Banyaknya harta wakaf yang belum dikelola dengan benar
a.      Sempitnya pola pemahaman masyarakat terhadap harta yang akan diwakafkan
b.      Umumnya masyarakat yang mewakafkan hartanya kepada orang yang dianggap panutan
c.       Kurang memadainya peraturan perundang-undangan
2.      Sdm dalam pengelolaan wakaf produktif
a.      Syarat moral
b.      Syarat manajemen
c.       Syarat bisnis
3.      Kesadaran umat islam terhadap penerapan sistem ekonomi syariah
4.      Dukungan Pemerintah dan kondisi politik dalam pemberdayaan civil society
5.      Banyaknya perbankan syari’ah yang siap mengelola wakaf produktif
Hambatan Dan Tantangan
1.      Paham umat islam tentang wakaf
2.      Banyak tanah wakaf yang tidak strategis dan pro-kontra mengenai pengalihan wakaf untuk tujuan produktif
3.      Banyaknya tanah wakaf yang belum bersetifikat
4.      Peraturan perundang-undangan
 
Pengembangan Wakaf
1.      Program Jangka Pendek :
a.      Menginventarisir seluruh tanah wakaf yang mempunyai potensi untuk dikembangkan secara produktif di seluruh indonesia
b.      Memfasilitasi / bantuan pembiayaan sertifikasi       tanahwakaf yang belum bersetifikasi wakaf
c.       Mengorganisir dan mengembangkan lembaga-       lembaga nadzir wakaf yang sudah ada untuk memperdayakan tanah-tanah wakaf dengan membuat kebijakan-kebijakan
d.      Sosialisasi undang-undang ri nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
2.      Program Jangka Panjang :
a.      Mengumpulkan, mengelola, dan mengembangkan wakaf tunai ( cash wakaf ) dengan lembaga keuangan terkait / khususnya perbankan syari’ah
b.      Mengembangkan lembaga-lembaga nadzir yang sudah ada agar lebih kredibel ( profesional dan amanah )
c.       Menangkap peluang usaha pemberdayaan tanah wakaf produktif
d.      Evaluasi dan umpan balik bagi perencanaan usaha

Ø  Produk Halal
Peraturan Perundangan Yang Berkenaan Dengan Produk Halal
1.      Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 21 huruf d yang berbunyi : Ketentuan lainnya. Selanjutnya dalam penjelasan ayat tersebut berbunyi “ Ketentuan lainnya misalnya kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal.”
2.      Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 427/Men.Kes/KSB/VIII/1985 dan Nomor 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan pada Label Makanan.
Keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun pencantumannya pada label pangan, baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label, pangan dianggap telah menjadi pernyataan maksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu.

Ø  Pelayanan Haji
Umum
Setiap kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang.
Prinsip-prinsip penyelenggaraan ibadah haji yaitu mengedepankan kepentingan jamaah, memberikan rasa keadilan dan kepastian, efisiensi dan efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, profesionalitas dan nirlaba.
Pendaftaran Haji
1.      Waktu dan Tempat
Pendaftaran haji dilakukan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota tempat domisili setiap hari kerja.
2.      Syarat-Syarat Pendaftaran Haji
a.      Fotocopy KTP dan Kartu Keluarga
b.      Surat Keterangan Sehat dari Puskesmas
c.       Fotocopy buku tabungan minimal Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah)
d.      Pas foto terbaru tampak wajah 70-80% latar belakang berwarna putih, pakaian/jilbab kontras ukuran 3X4 sebanyak 30 buah dan ukuran 4X6 sebanyak 6 buah
e.      Fotocopy buku nikah bagi pendaftar suami istri
f.        Fotocopy Akte Kelahiran/Ijazah (SD-SMA)
3.      Cara Mendaftar
a.      Datang ke Kantor Kementerian Agama sesuai domisili dengan membawa persyaratan di atas.
b.      Mengisi Surat Permohonan Pergi Haji (SPPH) dan disahkan oleh petugas Kantor Kementerian Agama Kab/Kota.
c.       Membayar setoran awal sebesar Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) ke rekening Menteri Agama pada BPS BPIHyang online dengan SISKOHAT yaitu :
*      Bank Negara Indonesia                            
*      Bank Rakyat Indonesia
*      Bank Tabungan Negara
*      Bank Muammalat Indonesia
*      Bank Mandiri
*      BUKOPIN
*      Bank Syariah Mandiri
d.      Meneriam Bukti Setoran Awal BPIH yang di dalamnya tercantum Nomor Porsi sebagai bukti telah syah terdaftar sebagai jamaah haji
e.      Melaporkan diri ke Kantor Kemenag Kab/Kota tempat mendaftar paling lambat 5 (lima) dari dan menyerahkan Bukti Setoran Awal warna kuning.
Pelunasan BPIH
1.      Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri Agama setelah mendapat persetujuan DPR, yaitu digunakan untuk keperluan biaya penyelenggaraan ibadah haji
2.      Prioritas pemberangkatan jamaah haji diberikan kepada calon jamaah haji yang nomor porsinya masuk dalam alokasi porsi provinsi dan telah melunasi BPIH tahun berjalan, belum pernah haji dan berusia 18 tahun ke atas dan atau sudah menikah
3.      Waktu dan Tempat Pelunasan
a.      Waktu pelunasan BPIH tahun berjalan dilaksanakan setelah ditetapkan Peraturan Presiden tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
b.      Pelunasan BPIH dilakukan pada BPS BPIH tempat setor semula
4.      Syarat-Syarat untuk Melunasi BPIH
Memilki Nomor Porsi yang masuk dalam alokasi porsi Provinsi dengan ketentuan:
a.      Belum pernah haji
b.      Berusia 18 tahun keatas dan atau sudah menikah
c.       Suami, anak kandung dan orang tua kandung yang pernah haji dan akan bertindak sebagai mahram bagi jamaah haji sebagaimana dimaksud diatas, atau pembimbing ibadah haji yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi dan dikonfirmasi ke dalam SISKOHAT sebelum waktu pelunasan dimulai.
5.      Cara Melakukan Pelunasan BPIH
a.      Datang ke BPS BPIH dengan membawa  Bukti Setoran Awal
b.      Menambah kekurangan BPIH tahun berjalan sesuai dengan besaran yang ditetapkan oleh Presiden
c.       Menerima Bukti Storan Pelunasan BPIH
d.      Melaporkan diri ke Kantor Kemenag Kab./Kota tempat mendaftar paling lambat 7 (tujuh) hari dengan membawa dan menyerahkan Bukti Setoran Pelunasan warna merah, kuning, biru.
6.      Calon jamaah haji yang masuk dalam alokasi porsi Provinsi tetapi tidak melunasi BPIH tahun berjalan menjadi waiting list tahun berikutnya.
Mutasi Haji
Syarat –Syarat Mutasi Haji
1.      Penggabungan suami istri yang terpisah dibuktikan dengan Surat Nikah
2.      Penggabungan orang tua dan anak dibuktikan Akte Kelahiran
3.      Pindah tugas dibuktikan dengan surat mutasi kerja
Pembatalan Haji
1.      Calon jamaah haji yang membatalkan pendaftarannya, BPIH nya dikembalikan melalui BPS BPIH tempat setor semula.
2.      Permohonan pengajuan pengembalian BPIH jamaah batal dilakukan melalui Kantor Kemenag Kab./Kota domisili, dengan melampirkan:
a.      Bukti setoran asli BPIH lembar pertama dan keempat
b.      Surat Pernyataan Batal dari calon jamaah haji bermaterai Rp. 6.000,-
c.       Surat Kuasa bermaterai p. 6.000,- dari calon jamaah haji yang bersangkutan, dan diketahui Lurah/Kepala Desa stempat, apabila pengambilan dikuasakan kepada orang lain
d.      Fotocopy surat kematian dan surat keterangan ahli waris bagi yang batal karena meninggal dunia.
3.      Penyelesaian proses pembatalan dilaksanakan secara berjenjang muali dari Kantor Kemnag Kab./Kota, Kanwil Kemenag Provinsi, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dan Bank Penerima Setoran Awal BPIH.
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan haji dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan: Tahap pertama di Puskesmas dan Tahap kedua di rumah sakit Kabupaten/Kota.
Biaya pelayanan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh calon jamaah haji yang besarannya berbeda-beda antar Kabupaten/Kota, sesuai Perda Kabupaten/Kota bersangkutan.
KBIH
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) di Provinsi Bali ada 2 (dua), yaitu:
1.      KBIH Persaudaraan Denpasar.
Memberikan bimbingan ibadah sampai tanah suci Makkah. Tahun 2011 jamaah haji yang bergabung dalam KBIH Persaudaraan sebanyak 45 orang dengan seorang pembimbing ibadah.
2.      KBIH Al Mabrur Singaraja.
Memberikan bimbingan mansik di tempat/daerah, tidak menyertakan pembimbingdalam pemberangkatan jamaah haji.
Pelaksanaan Manasik Haji
Pelaksanaan manasik haji di Provinsi Bali dilakukan sebanyak 15 kali pertemuan yaitu 4 kali pertemuan atau bimbingan missal di Kabupaten/Kota dan 11 kali pertemuan di tingkat Kecamatan yang dikoordinir oleh KUA Kecamatan.
Pembiayaan ditanggung oleh BPIH per orang Rp.25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) yang dugunakan untuk biaya narasumber, ATK, konsumsi, dokumentasi dll.

Dokumen
1.      Paspor untuk jamaah haji Provinsi Bali diterbitkan oleh Kantor Imigrasi klas I Denpasar dan Kantor Imigrasi klas II Singaraja. Biaya pembuatan paspor sebesar Rp.255.000,- (dua ratus lima puluh lima ribu rupiah) dari dana BPIH.
2.      Dokumen jamaah haji yang menyertai paspor adalah DAPIH (Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji), hal ini dimaksudkan untuk memudahkan petugas haji baik di tanah air maupun Arab Saudi dalam mengontrol jamaah haji itu sendiri. DAPIH ini memiliki 12 lembar sobekan yang akan digunakan sesuai dengan tempat dan kebutuhan.
Kuota
            Kuota haji Provinsi Bali berdasarkan KMA No. 29 tahun 2011 sebanyak 639 dengan 3 orang TPHD. Kemudian mendapat tambahan sebanyak 120 orang (50% lansia dan 50% pendamping), sehingga jumlah total kuota haji Provinsi Bali Tahun 2011 sebanyak 759 orang.
            Dari jumlah tersebut yang melunasi sebanyak 739 orang yang tergabung dalam Kloter 81-SUB sebanyak 445 orang, Kloter 82-SUB sebanyak 183 orang dan Kloter 91-SUB sebanyak 111 orang.
Embarkasi
            Jamaah Haji Provinsi Bali diberangkatkan ke Arab Saudi melalui Embarkasi Surabaya. Biaya pemberangkatan jamaah haji dari Bali ke Surabaya PP ditanggung sepenuhnya oleh jamaah haji. Angkutan yang dipergunakan di bawah koordinasi PPIH Kabupaten/Kota adalah Kendaraan darat (Bus) dan hanya sebagian kecil yang menggunakan angkutan pesawat udara yaitu sebanyak 20 orang.

e.      Informasi Tentang Penyuluh Agama Fungsional (PNS) dan non PNS
Penyuluh Agama Fungsional (PNS) di Provinsi Bali tahun 2011 berjumlah 161 orang, sedangkan Penyuluh Agama non PNS berjumlah 1.576 orang (dari seluruh agama).
Penyuluh Agama mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 516 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh Fungsional, yaitu melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama kepada masyarakat. Tugas penyuluh agama sekarang ini berhadapan dengan suatu kondisi masyarakat yang berubah dengan cepat yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka. Dengan demikian, setiap penyuluh agama secara terus menerus perlu meningkatkan pengetahuan, wawasan dan pengembangan diri, dan juga perlu memahami visi penyuluh agama serta menguasai secara optimal terhadap materi penyuluhan agama itu sendiri maupun teknik menyampaikannya. Sehingga ada korelasi faktual terhadap kebutuhan masyarakat pada setiap gerak dan langkah mereka.
Materi Penyuluhan
1.      Sradha, bakti, etika dan susila.
2.      Aqidah, target yang ingin dicapai adalah; menghilangkan praktek kemusyrikan di masyarakat.
3.      Muamalah, target yang ingin dicapai adalah; bagaimana memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.
4.      Akhlaq, target yang ingin dicapai adalah; meningkatkan penyadaran pada masyarakat tentang pentingnya akhlaq al karimah.
5.      Ibadah, target yang ingin dicapai adalah; meluruskan niat dalam beribadah, menjadikan segala sesuatu kegiatan bernilai ibadah.
Penyuluh Agama non PNS
Secara bahasa penyuluh non PNS merupakan petugas yang memberikan penerangan agama melalui bahasa agama yang dibiayai melalui DIPA Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali. Keberadaannya diperlukan dan untuk kelangsungannya menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Adapun penyuluh non PNS memiliki tugas dan kewajiban yang sama dengan penyuluh fungsional yaitu menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, hukum, etika, susila, upacara, syarat dan rukun dari suatu pelaksanaan ritual tertentu, pernikahan, zakat, keluarga sakinah, kemasjidan dan lain sebagainya.
Keberadaan penyuluh non PNS sangat strategis di dalam mengadakan pembinaan dan berhadapan langsung dengan umat.
 
III. Kesimpulan dan Penutup
Beranjak dari beberapa hal dalam uraian diatas dapat dinyatakan bahwa : 1) Heterogenitas masyarakat Bali tak dapat dihindari dan sudah terjadi serta akan terus terjadi dan semakin hari semakin kompleks. 2) Setiap komunitas masyarakat memang memiliki kearifan lokal, demikian pula masyarakat Bali dengan kearifan lokalnya yang mengandung nilai persaudaraan dapat dijadikan pedoman dalam menjalin kerukunan hidup bersama dari masyarakat yang beragama (multikultural) dan berbeda (agama, etnis, adat-istiadat, ras, dan golongan). 3) di dalam setiap agama ada ajaran yang senada dengan nilai kearifan lokal dan setiap agama memberi semangat agar umatnya bisa rukun secara intern maupun ekstern. 4) atas dasar pemahanman tentang kearifan lokal Bali dan kerukunan yang ada kesepadanannya dalam agama masing-masing yang dikaji lewat dialog antarumat beragama di Bali secara berkesinambungan, maka kerukunan hidup beragama dan bermasyarakat di Bali selama ini tergolong baik, walaupun kondisi rukunnya lebih baik pada tataran atas sementara pada tataran bawah masih perlu pembinaan secara merata dan terus menerus.
Upaya ke depan adalah agar kerukunan yang sudah dicapai bisa dijaga, dipelihara, dan ditingkatkan dengan lebih mendalami ajaran agama masing-masing dan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan dasar untuk hidup bersama saling berdampingan secara damai dan harmonis dan dapat saling menerima, saling menghargai dan saling menghormati perbedaan. Tranformasi nilai harus terjadi secara alami dari satu generasi ke generasi berikutnya dan selalu diharapkan adanya perubahan yang mengarah kepada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Demikian yang dapat disampaikan tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam membangun kehidupan beragama di Provinsi Bali secara singkat.Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Terima kasih.Om Santih, Santih, Santih, Om.


LAMPIRAN

BERDASARKAN DATA YANG ADA DI KANWIL AGAMA PROV. BALI TAHUN 2011,PEMBANGUNAN DI ATAS TANAH WAKAF SBB:
NO
JENIS PEMBANGUNAN
JUMLAH
LUASNYA
1.
MASJID
398 LOKASI
615.355,3 M2
2.
MUSHOLLA / LANGGAR
186 LOKASI
45.633,5 M2
3.
MADRASAH / SEKOLAH
94 LOKASI
135.551 M2
4.
KUBURAN / MAKAM
188 LOKASI
473.039 M2
5.
SOSIAL LAINNYA
379 LOKASI
706.784,2 M2
JUMLAH
993 LOKASI
1.976.363 M2

DATA SERTIFIKASI TANAH WAKAF TAHUN 2011 SBB:
NO
KETERANGAN
JUMLAH
LUASNYA
1.
SERTIFIKASI
1125 LOKASI
1.545.555 M2
2.
PROSES DI BPN
61 LOKASI
72.675.05 M2
3.
BELUM SERTIFIKASI
63 LOKASI
83.106,8 M2
JUMLAH
1249 LOKASI
1.1977. 308   M2



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Iman. 1985. Agama dan Tantangan Jaman. Jakarta : Penerbit Midas Surya Grafindo.
Ali, H.A.Mukti. 1976. Agama dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta : Biro Humas Dep. Agama RI.
Ali, Mursyid. 1999. Dinamika Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perspektif Agama-Agama.Jakarta : Balitbang Agama Depag RI.
Aryadharma, Suarpi. 2009. Konversi Agama “Penyakit Kronis di Bali” Manfaatkan Kelemahan Agama dan Pelaksanaan Adat.Media Hindu, Nopember 2009, Edisi 69.
Budiyono. 1983. Membina Kerukunan Hidup Antarumat Beragama. Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius.
Djauhary, H.A Zaidan. 1983/1984.Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta : Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama RI.
Kanwil Depag. 2008. Profil Kanwil Depag Prov. Bali. Denpasar: Humas Kanwil Depag
Mulyana. 2005. Demokrasi dalam Budaya Lokal.Yogyakarta : Tiara Wacana.
Mursyid, H. Hasbulah. 1989. Musyawarah Antar-Pemuka Umat Beragama.Jakarta : Sekretariat Jendral Departemen Agama RI.
Ngurah, I Gusti Made. 2004. Dialog Antarumat Beragama dalam Perspektif Budaya Bali Studi Kasus Terhadap Kehidupan Beragama di Kota Denpasar. Tesis S2 Kajian Budaya Pascasarjana Unud.
---------------------------. 2010. Dialog Antarumat Beragama dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar. Disertasi S3 Kajian Budaya Unud.
PHDI.2006. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.Jakarta : PHDI Pusat.
Prawiranegara, H, Alamsyah Ratu. 1982. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia (H.A. Hanafiah Dasuki, Penyunting). Jakarta : PT. Karya Unipress.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Soputan, Jimmy. 2002. “Meningkatkan Dharma Agama dan Meneguhkan Kedalaman Hidup Beragama dengan Menyama Braya”. Makalah disampaikan pada Sarasehan Antarumat Beragama tanggal 2 Nopember 2002 di Hotel Bumi Asih. Renon Denpasar.