Friday, May 04, 2012
Monday, April 30, 2012
NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN BERAGAMA DI PROVINSI BALI
I.
Pendahuluan
Om Swastyastu
Heterogenitas kehidupan masyarakat
modern tak dapat dihindari dan hal tersebut telah terjadi dan akan terus
terjadi mulai dari perkotaan sampai ke pelosok pedesaan nun jauh di pedalaman.
Banyak alasan dapat dikemukakan mengapa hal tersebut harus terjadi yaitu : 1)
Manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial sangat dinamis,
selalu bergerak dan selalu ingin hidup lebih baik dalam berbagai aspek
kehidupannya, 2) Manusia mempunyai hak dan pilihan untuk turut mengelola dan
menikmati seisi alam ciptaan Tuhan, dimanamun merekan mau, 3) terkadang manusia
terdesak ditempat asal dan bergerak ke wilayah lain untuk perbaikan hidupnya
dan 4) perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni merangsang pergerakan
manusia dari satu tempat ke tempat lain.
Paling kurang dengan empat alasan di
atas menyebabkan manusia bergerak mencari sesuatu di tempat yang dianggap lebih
baik.Di tempat mereka tuju/pilih mereka menetap beradaptasi dengan masyarakat
lingkungan yang sudah ada terlebih dahulu dan atau menetap dengan membentuk
komonitas baru. Dari proses ini terwujudlah suatu masyarakat multikultur dengan
ciri adanya keragaman dari sudut agama yang dianut yang diikuti dengan bentuk
keragaman lainnya seperti keragaman suku, bahasa, adat istiadat, budaya,
karakter, dan kondisi masyarakat itu sendiri. Bahkan di beberapa daerah,
keragaman itu ditambah lagi dengan tumbuhnya berbagai aliran keagamaan pada
setiap agama, yang sering memunculkan masalah baru di tempat dimana mereka
tumbuh.Dalam kondisi masyarakat beragam atau heterogen, kerukunan harus dapat
diwujudkan dengan baik agar cita-cita untuk hidup damai, harmonis, saling
menerima dan saling menghargai perbedaan sebagai ide multikulturalisme bisa
terealisasikan.
Pedoman yang dapat diangkat dalam mewujudkan
kerukunan tentu tidak bisa hanya berdasarkan ketentuan yang ada dalam satu
kelompok saja untuk semuanya.Misalnya harus berpedoman pada satu agama untuk
semua golongan agama dalam berbagai aspek kehidupan pasti tidak bisa. Sebab
semua pedoman yang berlaku di kelompok akan berlaku efektif bagi kelompok itu
dalam mengatur tata kehidupannya dengan sebaik-baiknya.
Memang disadari bahwa ada beberapa
bagian nilai-nilai sosial yang ada dalam setiap agama ada kesamaannya, bisa
diangkat sebagai pedoman bersama akan tetapi banyak hal lainnya hanya cocok dan
tepat untuk mengatur kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu, untuk
membina kerukunan dalam masyarakat yang heterogen, kearifan lokal sangat
efektif untuk dijadikan landasan bersama dalam mewujudkan kerukunan.Setiap
orang mengetahui bahwa setiap daerah memiliki kearifan lokal yang bisa dipahami
untuk kemudian bisa disepakati dijadikan dasar dalam menjaga dan membina
kerukunan hidup bersama.Di Bali terdapat beberapa kearifan lokal yang telah
dijadikan pedoman oleh masyarakat sejak dahulu dalam menjaga keharmonisannya
menghadapi tantangan hidup. Dalam tulisan ini akan dikemukakan tiga kearifan lokal
yang sudah dikenal dan sebagian telah disepakati untuk dijadikan landasan hidup
bersama di Bali. Ketiga hal dimaksud adalah 1)
Sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya, 2)
menyama braya, dan 3) tri hita karana dasar menjaga tiga hubungan harmonis
yaitu hubungan harmonis manusia dengan Tuhannya (Parahyangan), hubungan harmonis antara sesamamanusia (pawongan), dan hubungan harmonis antara
manusia dengan alam lingkungannya (palemahan).
Ketiga kearifan lokal diatas dapat dicoba dipahami dan dimengerti untuk
kemudian bisa diterapkan dengan baik, niscaya kerukunan dapat dibina dan ide
multikulturalisme dalam masyarakat heterogen seperti di Bali ini akan dapat
terealisasi dengan baik pula.
Mengenai konsep kerukunan di
Indonesia, oleh pemerintah sejak tahun delapan puluhan telah mencanangkan
adanya tiga bentuk kerukunan beragama yaitu : 1) kerukunan intern (dalam agama
masing-masing), 2) kerukunan antarumat beragama (antar pemeluk agama yang
berbeda) dan 3) kerukuann antarumat beragama dengan pemerintah (pengaturan
hidup beragama dan hidup bernegara). Tampaknya berdasarkan pengalaman pengalaman
yang ada selama ini untuk mewujudkan kerukunan intern jika di intern itu ada
masalah merupakan suatu penyelesaian yang paling sulit dilakukan.
Demikian pula untuk mewujudkan
kerukunan antarumat beragama ataupun antarumat beragama dan pemerintah jika
berpedoman pada satu aturan formal dari satu komunitas ataupun hanya
berdasarkan aturan pemerintah juga agak sulit untuk diwujudkan.Namun jika dalam
upaya mewujudkan kerukunan dan menjaga kerukunan hidup itu di samping
berpedoman pada ketentuan dalam kelompok dan peraturan dari pemerintah,
kemudian diperkuat landasannya dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal
yang ada, maka harapan keberhasilan mewujudkan kerukunan berpeluang lebih
besar.
Fenomena inilah yang menarik untuk
dikaji guna dapatnya setiap orang berperanserta menjaga, memelihara,
meningkatkan kerukunan hidup beragama di Bali yang sudah dicapai selama ini.
Pemahaman ini perlu lebih dikembangkan tidak hanya dikalangan generasi tua
(seperti yang terjadi selama ini), akan tetapi juga di kalangan generasi muda
bahkan sudah harus ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini. Agar mereka
bisa mendengar, mengerti, memahami, melakukan apa yang dimaksud kearifan lokal
dan bagaimana memerankannya dalam mewujudkan kerukunan hidup beragama sejak
dini. Bila kerukunan beragama bisa terwujud dengan terjaga dengan baik, maka
pelaksanaan program pemerintah, program masing-masing majelis agama, dan
program dari FKUB akan bisa dilaksanakan dengan baik dan lancar. Demikian pula
dalam upaya mendukung pelaksanaan program Pemerintah Provinsi Bali yaitu Bali
Mandara (maju, aman, damai, sejahtera) dengan penajaman Bali Clean and Green (bersih dan hijau, resik lan dayuh) akan bisa terwujud.
Dalam hali ini ada tiga hal yang perlu dialami yakni : 1) Bagaimana kondisi
Bali saat ini, 2) Sejauh mana pemahaman masyarakat beragama di Bali tentang
konsep-konsep kearifan lokal dan kerukunan selama ini, dan 3) Upaya-upaya apa
yang harus dilakukan dalam meningkatkan kerukunan beragama selama ini.
a.
Informasi
Keagamaan Dibidang Kehidupan Beragama
Kondisi Bali saat ini dilihat dari
sisi kependudukan sudah sangat heterogen. Penduduk Bali terdiri dari enam
penganut agama yaitu : Hindu (3.217.595 jiwa), Islam (351.239 jiwa), Kristen (41.835
jiwa), Katolik (33.529 jiwa), Buddha (27.599 jiwa) dan Khong Hucu (204 jiwa)
(Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali : 2011). Masing-masing agama memiliki
majelis agama yang dapat melakukan pembinaan ke dalam dan melakukan diplomasi
keluar dalam menyatakan eksistensinya. Dalam upaya membangun, menjaga dan
memelihara kerukunan hidup beragama pimpinan dari majelis-majelis agama
tersebut bersepakat membentuk Forum Komunikasi Antarumat Beragama (FKAUB) Bali
tanggal 5 Februari 1999 dalam suatu kegiatan Musyawarah Antarumat Beragama di
Bedugul. Pembentukan FKAUB Provinsi Bali ini diikuti oleh pembentukan FKAUB di
tiap Kabupaten/Kota seluruh Bali. Dalam perkembangan selanjutnya dengan dikeluarkannya Peraturan Bersama
Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8,9 tahun 2006, maka
FKAUB harus menyesuaikan diri dengan nama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
yang dibentuk sejak tahun 2008. Forum ini telah menjalankan fungsinya dengan
baik, sehingga sampai saat ini kerukunan umat beragama di Bali dipandang cukup
baik kalau dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Namun karena kerukunan
itu bersifat dinamis dan di dalam agama masing-masing tumbuh berbagai bentuk
aliran keagamaan yang tidak bisa disentuh oleh FKUB, maka kecermatan dan
peningkatan pelaksanaan program FKUB ke depan selalu harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penyelesaian
konflik antar (suku, agama, ras) tampaknya lebih cepat dan lebih mudah dari
pada penyelesaian konflik intern (etnis, agama, antar golongan). Hal-hal
inilahyang seharusnya juga menjadi perhatian generasi muda (semua agama) agar
terjadi regenerasi berjalan alami dan selalu bisa membawa perubahan kearah yang
lebih baik, lebih rukun, lebih damai, lebih sejahtera dari kondisi-kondisi
sebelumnya.
Penduduk Bali di samping dapat
diketahui dari kepenganutan agama dengan berbagai permasalahannya, juga dapat
diketahui keberadaannya dari segi etnis. Liliweri (2005: 13) menjelaskan bahwa
etnis atau etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik
kelompok ras, maupun yang bukan kelompok ras, yang secara sosial dianggap
berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri.
Kependudukan menurut etnis di Bali
dapat diketahui dari laporan tentang terbentuknya Forum Komunikasi Paguyuban
Etnis Nusantara (FKPEN) Provinsi Bali tahun 2001 yang berkedudukan di Kota
Denpasar. Forum ini dibentuk tahun 2001 dan untuk pertama kalinya diketahui
oleh I Gde Suyatna.Tercatat ada 20 Etnis Nusantara. Ke-20 Etnis Nusantara
dimaksud menjadi anggota FKPEN Provinsi Bali dan masing-masing etnis telah
memiliki ikatan etnis sebelumnya yaitu (1) Ikatan Keluarga Batak, (2) Ikatan
Keluarga Minang Saiyo, (3) Ikatan Keluarga Andalas Selatan, (4) Paguyuban Jawa
Barat, (5) Paguyuban Banyumas, (6) Paguyuban Keluarga Yogya Ngeksigondo, (7)
Paguyuban Keluagra Surakarta Mataram, (8) Ikatan Keluarga Surakarta
Hadiningrat, (9) Ikatan Keluarga Malang, (10) Ikatan Keluarga Pagerboyo
Surabaya, (11) Kerukunan Keluarga Madura, (12) Ikatan Keluarga Taliwang, (13)
Ikatan Keluarga Besar Flobamora, (14) Ikatan Keluarga Irian Jaya, (15) Ikatan
Keluarga Maluku, (16) Ikatan Keluarga Sulawesi Selatan, (17) Ikatan Keluarga
Toraja, (18) Ikatan Keluarga Sangir Talaud, (19) Ikatan Keluarga Mahesa, dan
(20) Paguyuban Sosial Masyarakat Tionghoa.
Pembentukan FKPEM bertujuan untuk
turut serta berperan aktif dalam proses pembangunan daerah Bali, menjaga
kelestarian dan keajegan Bali, menciptakan suasana aman, serta menjunjung
tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam menjalankan peran dimaksud forum
ikut aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seni, dan sewaktu-waktu ikut serta
dalam dialog antarumat beragama yang dilakukan di bali untuk bersama-sama
menjaga/memelihara kerukunan umat beragama di Bali.
Di samping 20 etnis yang tergabung
dalam FKPEN masih ada empat etnis lain yang tidak memiliki nama ikatan, dan
tidak masuk dalam FKPEN seperti Etnis Sasak, Etnis Bugis, Etnis Dayak, dan
Etnis Bali. Penduduk Bali disamping berasal dari Etnis Nusantara, juga ada
sebagian kecil berasal dari etnis asing. Warga negara asing (WNA) yang menjadi
penduduk Bali terdiri atas warga keturunan Cina, Keturunan Arab, India, New
Zeland, Pakistan, Taiwan, Malaysia, Australia, dan lain-lain.
Berbagai etnis telah menjadi penduduk
Bali dan etnis Bali merupakan jumlah terbesar sebagai penduduk asli. Etnis Bali
tidak membuat paguyuban baru seperti yang dimiliki etnis lain dan tidak masuk
dalam FKPEN karena, mereka sudah berhimpun dalam berbagai lembaga keagamaan dan
lembaga tradisional lainnya seperti lembaga desa pakraman, banjar adat, dan beberapa sekaa sesuai keahlian dan keperluannya dan/atau
perkumpulan-perkumpulan lain termasuk himpunan berbagai warga berdasarkan garis
keturunan atau soroh. Ada pula yang
tergabung dalam berbagai yayasan sosial keagamaan maupun yayasan sosial umum
sesuai keperluannya, akan tetapi keberadaannya justru menjadi unsur
terpenting/pendukung utama pelaksanaan pembangunan Bali. Heterogenitas
masyarakat Bali di satu sisi (jika rukun) dapat dipandang sebagai modal untuk
membangun kebersamaan, akan tetapi di sisi lain jika kerukunan belum mantap
keberadaan masyarakat heterogen penuh resiko; sebab dalam masyarakat heterogen
yang tidak rukun, konflik SARA mudah terjadi.
Di samping itu, masyarakat Bali yang
sudah kondisinya heterogen saat ini masih ada tantangan lain yang perlu
dicermati atau diwaspadai agar Bali tetap terjaga dan bisa mewujudkan
masyarakat maju, aman, damai, dan sejahtera. Tantangan dimaksud antara lain :
1) di Bali telah terjangkit HIV/AIDS, yang terpantau lebih dari 4000 penderita,
2) orang stres/gila, depresi lebih dari 7000, 3) berjangkitnya penyakit yang
belum pernah ada di Bali (sebelumnya) seperti Rabies, flu burung, flu babi,
cikungunya. 4) Maraknya Cafe remang-remang
yang sudah masuk jauh ke desa-desa di pedalaman yang merusak moral masyarakat
desa, terutama para generasi mudanya, 5) Penjaja sex bebas di berbagai tempat,
yang juga merusak moral generasi muda,
6) Tumbuhnya perkampungan kumuh dengan budaya yang saling berbeda, 7)
munculnya tindak kekerasan seperti perampokan, pencurian, pembunuhan,
penodongan, pencopetan, pemerkosaan, hampir setiap hari terjadi. 8) Pencurian
benda-benda sakral (pencurian pratima)
sama artinya dengan pelecehan atau perusakan nilai agama tertentu, dan berbagai
macam aksi-aksi lainnya yang membuat Bali tidak aman, Bali tidak asri.
b.
Arti dan
Pemaknaan Kearifan Lokal
Istilah kearifan yang oleh Bangsa
Yunani Kuno disebut dengan wisdom, merupakan
gambaran kecerdasan (intellectual),
moral, cara hidup atau kehidupan yang selaras dengan alam, atas dasar kejujuran
dan keharmonisan (Supartha, 2007: 83). Sementara kata lokal berarti di suatu
tempat atau setempat (Tim Penyusun, 1997:600).Pada uraian ini diakui adanya
kecerdasan yang dimiliki masyarakat lokal (setempat) pada suatu komunitas
tertentu, untuk kemudian kecerdasan dimaksud dapat dikembangkan guna mengatur
kehidupan mereka agar bisa harmonis sesama anggota masyarakat. Disamping itu,
kecerdasan yang dimiliki masyarakat lokal jika dipahami dengan baik akan dapat
menangkal pengaruh negatif dari luar. Oleh karena itu, jika ada pengaruh dari
luar; dengan kearifan lokal yang dimiliki itu, budaya luar yang cocok dapat
diserap dan budaya luar yang tidak cocok dapat ditolak secara selektif dan
tepat.
Sedyawati (2006: 382) menyatakan
bahwa kata “Kearifan” dalam arti luasnya, tidak hanya berupa norma-norma dan
nilai-nilai budaya melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk juga yang
berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan dan estetika. Dengan
demikian, “Kearifan Lokal” dapat diartikan sebagai “Kearifan dalam Kebudayaan Tradisional”, dengan catatan bahwa yang
dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Disadari
ataupun tidak, berarti setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai kearifan lokal,
baik yang tumbuh dari budaya tradisional setempat, sebagai hasil adopsi budaya
dari luar (termasuk adopsi nilai ajaran Agama) maupun sebagai hasil adaptasi
budaya dari luar terhadap tradisi setempat.
Kearifan lokal dapat dicetuskan dalam
slogan-slogan, dalam cerita-cerita rakyat, dalam perilaku kehidupan, dalam
ekspresi kesenian, dan bahkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dalam bentuk
slogan misalnya 1) Masyarakat Toraja menyatakan “Padaidi Padailo Sipatuwo Sipatukong” (kita sama kita sehidup
semati), 2) Masyarakat Sumatra Barat mempunyai istilah “Dimana Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung” (maksudnya seseorang
selalu harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat dan menghormati
tradisi yang berlaku), 3) Patut, Patuh,
Patcu ; slogan dalam Suku Sasak (maksudnya dalam hidup bersama harus
berpegangan pada hal yang benar, taat, dan sungguh-sungguh). 4) Bagi masyarakat
Bima di NTB ada slogan yang berbunyi “Ngahatana
ngoho” (maksudnya semua orang perlu makan, tetapi jangan semua dihabiskan).
5) Begitu pula Suku Muna di Sulawesi Tenggara punya slogan bini-bini kuli (cubitlah diri sendiri); maksudnya orang terlebih
dahulu harus bisa menasehati dirinya sendiri. 6) Untuk kearifan lokal di Bali
ada slogan sagalak sagilik saguluk
salunglung sabayantaka (dengan semangat bertekad bulat menghadapi kondisi
baik ataupun kondisi tidak baik/bahaya), menyama
braya (memandang setiap orang seperti saudara atau orang dekat) dan banyak
lagi yang lain, Tri Hita Karana, dan Tat Twam Asi.
Kearifan lokal dalam bentuk cerita
rakyat banyak sekali seperti di Bali ada cerita Pan Balang Tamak yang mengandung pesan kritik sosial terhadap orang
berkuasa.Cerita Bungkling (menunjukkan
betapa taatnya rakyat miskin/orang kampung kepada pemimpinnya dan
ketulusikhlasannya mengabdi kepada Sang pemimpin luar biasa), ada cerita Tantri (sebuah kecerdasan lokal dalam
cerita untuk menyadarkan pemimpin yang serakah terutama pemimpin yang doyan
perempuan), ada cerita bawang merah
bawang putih yang mirip maknanya seprti cerita Cupak Gerantang. Dalam kedua cerita itu menggambarkan karakter
orang bersaudara tidak sama, seorang malas memperbudak saudaranya yang rajin,
memfitnah, mengakui hasil karya saudaranya sebagai hasil karyanya sendiri,
serakah. Namun pada akhirnya (terdapat pesan) orang yang benar mendapat pahala
kebaikan dan orang yang tidak benar mendapat pahala yang tidak baik.
Dalam berkesenian juga ada nilai
kearifan lokal misalnya dalam seni suara/nyanyian Bali :Cakup-cakup balang, luung titi luung pengancan, tumbuh gigi becat
mejalan. Maksudnya persatukanlah kekuatan (bala) itu, kuatkan landasannya (titi/jembatan)
kuatkan juga pegangannya (pengancan),
dengan demikian akan tumbuh (gigi) wibawa, jika sudah berwibawa maka segala
langkah akan lancar-lancar saja. Misalnya seorang pejabat atau seorang tokoh
yang berwibawa akan mudah untuk bertindak; hanya dengan nota segalanya bisa
terjadi. Orang yang tidak berwibawa, notanya tidak laku.
Kearifan lokal dalam berkesenian yang
lain, misalnya pada seni tari tergambar pada pentas seni yang menampilkan pihak
yang benar akan selalu menang, pihak yang tidak benar akan menderita kekalahan
dan kehancuran. Di dalam pelaksanaan upacara agama juga banyak terdapat nilai
kearifan lokal seperti ada upacara penebusan,
upacara penglukatan, upacara peleburan, dan sebagainya.Oleh karena
itu, betapa pun modernnya masyarakat seperti di Bali, faktor kearifan lokal
dari banyak contoh memperlihatkan atau memainkan peranan lebih dominan
(Sadhono, 2002:81).
Berkaitan dengan pernyataan bahwa setiap
suku bangsa memiliki nilai kearifan lokal, Laksemiwati (dalam Supartha,
2007:84) menyatakan bahwa kearifan lokal tersebut merupakan suatu keunggulan
pola pikir manusia dan komunitas masyarakat setempat dalam membuat kebijakan
strategis untuk berinteraksi dengan sesama dan lingkungannya atas dasar
filosofi, nilai-nilai, estetika, norma dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Hal ini mempertegas bahwa semua suku bangsa memiliki kearifan
lokal yang meyimpan nilai-nilai luhur untuk menata kehidupan bersama, sepanjang
hidup mereka. Hanya saja sering kearifan lokal itu terlupakan, tidak diteruskan
kepada generasi berikutnya, tergeser atau terpendam, sebagai akibat adanya
desakan nilai-nilai sosial lain yang berkembang kemudian.
Kearifan lokal Bali cukup banyak
adanya, baik kearifan lokal asli, yang muncul dari budaya tradisional etnis
Bali, kearifan lokal hasil adopsi dan modifikasi budaya luar, maupun hasil
penyerapan nilai ajaran agama Hindu yang menjiwai budaya Bali itu sendiri
sebagaimana dicontohkan dalam uraian di atas. Setiap kearifan lokal memiliki
penekanan pada suatu nilai tertentu untuk dipedomani di dalam masyarakat.Ada
penekanan pada nilai kebersamaan, pada nilai persaudaraan, nilai senasib
sepenanggungan, nilai keunggulan semangat dalam perjuangan hidup dan notivasi
spiritual agama (taksu).Kesemuanya
diterima dan dipedomani dalam menata kehidupan bersama masyarakat Bali selama
ini.Namun demikian, diantara sekian banyak kearifan lokal Bali yang ada,
sebagian besar telah dilupakan. Ada pula kearifan lokal yang masih diingat
hanya dalam wacana, akan tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana makna yang
terkandung dalam kearifan lokal tersebut.
Pada dialog-dialog antarumat beragama
yang dilaksanakan di Bali selama ini beberapa kearifan lokal Bali pernah
dijadikan materi dialog, seperti kearifan lokal Bali menyama braya(persaudaraan), kearifan lokal tat twam asi, yaitu kata-kata dalam filsafat Hindu yang berarti (tat=itu, twam=engkau, asi=adalah)
“engkau adalah itu” (Tim Penyusun, 2005:128). Tat twam asijuga diartikan “engkau adalah dia” yang mengajarkan
kesosialan tanpa batas; karena diketahui bahwa “ia adalah kamu” (PHDI,
2006:50). Kearifan lokal lain yang pernah juga disinggung sepintas dalam dialog
antarumat beragama adalah (1) kearifan lokal yang berbunyi sagalak sagilik saguluk salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya (suatu
semangat, tekad bulat dan saling mengisi dalam menghadapi masalah hidup dan
kehidupan).
Dalam hubungannya dengan kehidupan
ekonomi Sudibya (1997:146) mengatakan menyama
braya :dharma artha kama dan moksa mengandung muatan makna
pendistribusian kesejahteraan ekonomi harus memuat cita-cita keadilan. Ada juga
kearifan lokal Bali yang disebut tri hita
karana (tiga penyebab kesejahteraan).Menurut Sudibya (1997:162) konsep
kearifan lokal tri hita karana mengajarkan
kepada masyarakatnya adalah terjaganya keseimbangan hubungan manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Kearifan-kearifan lokal Bali tersebut
pernah diperkenalkan di dalam dialog-dialog antarumat beragama yang
dilaksanakan selama ini di Bali.Di antara sekian banyak kearifan lokal yang
pernah didialogkan, kearifan lokal menyama
braya yang dianggap mempunyai nilai strategis dalam pembinaan dan
pengembangan kerukunan dalam kehidupan bersama umat beragama di Bali.Oleh
karena itu, kearifan lokal menyama braya
mendapat pembahasan lebih mendalam dan dilaksanakan secara terus menerus sampai
memperoleh titik temu; yaitu semua peserta dialog bersepakat menerima dan
menggunakannya sebagai pedoman bersama.
Di dalam dialog antarumat beragama
pada tahun 2002 kearifan lokal menyama
braya sebagai konsep budaya leluhur di Bali itu dibahas dan ternyata
mendapat respon yang positif, baik dari pemuka-pemuka Agama Hindu, maupun dari
tokoh-tokoh Agama Islam, Kristen, Katolik dan Budha, karena hakekatnya sudah
sejalan dengan ajaran Agama masing-masing. Oleh karena itu, kearifan lokal
Bali, khususnya kearifan lokal menyama
braya merupakan salah satu faktor pendorong pelaksanaan dialog antarumat beragama
dalam upaya menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama di Bali.
Sebagai materi dialog, kearifan lokal
menyama brayatelah ditampilkan sejak
dialog pertama tahun 2000 sampai dengan dialog pada tahun 2003 secara intensif,
kemudian pada dialog-dialog berikutnya kearifan lokal menyama braya ini telah diterima dan dipedomani serta diterapkan
pada setiap pelaksanaan dialog. Adapun kearifan lokal Bali yang lain, hanya
dibahas sepintas saja sebagai pengenalan secara umum dari materi dialog yang
terkait. Keunggulan kearifan lokal balimenyama
braya, jika dibandingkan dengan kearifan lokal Bali lainnya ialah karena
kearifan lokal menyama braya mengandung
makna persaudaraan dalam arti bersaudara (nyama),
persaudaraan dengan orang lain seperti saudara (braya).
c.
Kearifan
Lokal Menyama Braya dan Ajaran Agama
Pada dialog antarumat beragama di
Bali yang digelar pada tahun 2002, masing-masing pemuka agama menyampaikan
pandangannya mengenai kearifan lokal Bali menyama
braya yang ada relevansinya dengan ajaran Agama masing-masing sebagai
berikut.
Soputan (2002:1) sebagai pembicara dan peserta dialog
dari Pemuka Agama Kristen menyatakan bahwa budaya menyama braya relevan untuk meningkatkan keharmonisan dan
memperteguh kerukunan hidup antarumat beragama di daerah Bali, membangun
peradaban yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam
hal ini berarti, kearifan lokal menyama
braya dipahami sebagai hal yang mengandung nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan, sehingga perlu dikembangkan lewat dialog antar umat beragama.
Selanjutnya dinyatakan bahwa :
Dari sudut pandang Agama
Kristen, dipandang perlu mendalami pemahaman ajaran kasih dan tugas panggilan
gereja, yang melandasi implementasi budaya menyama
braya serta paradigma baru umat Kristen dalam menyikapi arus reformasi dan
menjawab perubahan jaman tri tugas panggilan gereja, yakni marturia(kesaksian, memberitakan firman Tuhan sebagai berita
sukacita), diakonia (pelayanan
perhatian kepada mereka yang menderita/tertindas/kekurangan), dan koninia (persekutuan termasuk membina
hubungan dengan sesama manusia). Tugas panggilan gereja ini terutama pelayanan
persekutuan mempunyai relevansi dengan budaya menyama braya.(Soputan, 2002:2).
Pernyataan Soputan sebagai tokoh Agama Kristen
diatas, menunjukkan bahwa ada kesepadanan nilai kearifan lokal menyama braya (persaudaraan) dengan
nilai ajaran Agama Kristen kasih sayang; dan tentunya dapat dipandang sebagai
faktor pendorong pelaksanaan dialog antar umat beragama di Bali. Dalam
dialog-dialog selama ini memang tampak telah menyelaraskan nilai kearifan lokal
tersebut dengan ajaran Agama Kristen, sehingga ada keterbukaan peserta dialog
antar umat beragama dan dapat memperlancar pelaksanaan dialog itu sendiri.
Anshori
(2002:5) Tokoh agama Islam di Provinsi Bali, mengemukakan bahwa apa yang
terkandung dalam ajaran Rukun Islam adalah prinsip-prinsip universal yang amat
berguna untuk pengembangan kehidupan nyama
braya yang etis dan damai. Rukun Islam dimaksud telah digambarkan Anshori
(2002:3) yaitu (1) Sahadat, (2) Shalat, (3) Zakat, (4) Puasa, dan (5) Haji. Dijelaskan disini implementasi
rukun Islam dimaksud adalah (1) Menghargai persamaan atau kebersamaan, (2)
Menghargai pluralitas budaya, (3) menjauhkan diri dari sifat serakah, sombong,
egois (SSE), (4) Mengembangkan keadilan sosial, dan (5) Mengembangkan
kesejahteraan. Dinyatakan juga (Anshori, 2002:6) bahwa kearifan lokal nyama braya adalah pranata sosial yang
unggul.Hal ini dibuktikan dengan adanya sebutan masyarakat Bali (Hindu)
terhadap sesama saudaranya seperti Nyama
Selam, Nyama Kristen, Nyama Kristen.Berkembangnya tali silaturahmi nyama braya berbentuk hubungan baik dan
kerja sama antar warga bangsa yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Bali.
Suharlim (2002:3) Tokoh agama Buddha, juga menyatakan
bahwa menyama braya adalah sikap dan
perilaku masyarakat Bali yang mengakui dan menerima mereka yang berbeda suku,
agama, ras dan antar golongan sebagai saudara dan kekerabatan.Pernyataan ini
didukung oleh Sudiarta (43 Tahun) tokoh agama Buddha yang ada di Provinsi Bali
menyatakan tentang kearifan lokal menyama
braya sebagai berikut.
“Adanya
dialog antarumat beragama membawa sikap masyarakat di Bali sangat terbuka,
menerima dan mengakui kearifan lokal Bali menyama
braya. Bagi umat Buddha di Provinsi Bali telah sampai pada penerapannya.
Buktinya, pergaulan di masyarakat menyatu, jika membangun balai banjar atau tempat ibadah seperti misal di lingkungan Padang
Udayana umat Buddha selalu ikut serta, dan jika Umat Buddha membikin acara di
Vihara selalu mengundang masyarakat lingkungan dan bahkan pejabat dari berbagai
Agama. Intinya hubungan lintas agama sangat baik dengan landasan kearifan lokal
bali menyama braya”. (Ngurah,
2010:264)
Berangkat dari pemahaman terhadap pandangan para
tokoh-tokoh agama tentang kearifan lokal menyama
braya terurai diatas, ada relevansinya dengan ajaran agama
masing-masing.Pengakuan kearifan lokal menyama
braya ada kesepadanan dengan nilai (persaudaraan) pada setiap agama.
Pandangan dan pengakuan tersebut mengandung dampak positif dalam pelaksanaan
dialog, dimana dialog menjadi lancar, baik dalam proses pelaksanaan dialog
maupun pada saat peserta dialog akan merumuskan suatu hasil rumusan dialog yang
menjadi pedoman dialog-dialog berikutnya. Oleh karena itu, disinilah tampak
bahwa fungsi kearifan lokal, khususnya kearifan lokal menyama braya merupakan salah satu faktor pendorong pelaksanaan
dialog antarumat beragama di Bali selama ini, sehingga kerukunan antarumat
beragama di Bali sampai saat ini terpelihara dengan sangat baik. Dengan kata
lain membangun kerukunan hidup beragama lebih mudah kalau dilandasi oleh
kearifan lokal (setempat) daripada berlandaskan salah satu ajaran agama yang
ada di setempat.
Disamping
kearifan lokal menyama braya, sering
pula disinggung didalam dialog-dialog antarumat beragama mengenai kearifan
lokal Bali tentang tri hita karana.Tri hita karana mengandung pengertian
tiga penyebab kesejahteraan bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia
dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan sesamanya
(Pemda Bali, 2000:77). Penerapan tri hita
karana bagi masyarakat Bali mencakup tiga hal yaitu : 1) Adanya Parhyangan (tempat suci) dalam rangka
menjaga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. 2) adanya Pawongan (segi sosial/kemasyarakatan)
dalam rangka menjaga dan memelihara hubungan sesama manusia (wong), dan 3) adanya Palemahan (wilayah) dapat dijumpai dalam
berbagai betuk dan fungsi, yaitu Palemahan
(wilayah) dalam rangka menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan
lingkungannya.
Ke depan
kearifan lokal Bali tri hita karana ini
dapat dikaji, dicari kesepadanan nilainya dalam setiap agama, kemudian dipahami
maknana untuk kepentingan hidup bersama, sehingga dapat disepakati penerapannya
seperti kearifan lokal menyama braya terurai
diatas. Tri hita karana memang perlu dipahami agar kita di Bali bisa sama-sama
menjaga tiga hubungan tersebut menurut konsep agama masing-masing, sehingga
kerukunan hidup beragama di Bali dapat dibangun lebih mantap lagi.
Perlu
dikemukakan di sini bahwa penerapan tri
hita karana bagi masyarakat Bali (hindu) selama ini tampak sebagai berikut.
1) Mengenai parhyangan penerapannya
dengan membangun tempat suci secara teritorial dan fungsional yaitu untuk di
tingkat daerah berupa kahyangan jagat, untuk
tingkat desa kahyangan tiga/kahyangan
desa, dan tingkat keluarga berupa merajan
(merajan Agung, padharman), sanggah/sanggah gede, dadya, panti dan juga padharman. 2) Palemahan di tingkat daerah merupakan wilayah seluruh Bali (seluruh
wilayah tanah air Bali adalah wilayah desa
pakraman), dan di tingkat desa disebut asengker
Bale Agung, untuk di rumah tangga disebut karang sikut satak (kurang lebih 20 are).
Mengingat
setiap komunitas masyarakat memiliki kearifan lokal dan nilai kearifan lokal
tersebut bisa dijadikan landasan yang lebih kuat dalam mewujudkan kerukunan
hidup bersama, maka tidaklah salah kalau dialog antarumat beragama di Bali pada
tahun 2005, 2006,2007 mengangkat kearifan lokal masyarakat Sumatra Barat
“dimana bumi dipijak disana langit dijunjung” untuk memperkuat kerukunan
terutama antara penduduk pendatang dengan penduduk setempat. Hal ini ditarik
dari makna kearifan lokal dimaksud bahwa setiap orang yang ingin berada disuatu
daerah harus dapat menyesuaikan diri dengan budaya dan adat istiadat yang
berlaku yang ada di setempat.
II.
Informasi
Keagamaan di Bidang Kehidupan Beragama
a.
Bidang
Kerukunan
Mengenai kerukunan, khususnya
kerukunan umat beragama di dalam peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9, 8 Tahun 2006 Pasal 1 dinyatakan sebagai
berikut.
Kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, mengharigai kesetaraan dalam pengalaman ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Nudzhar, 2007:54)
Bertitik tolak dari pengertian diatas, bahwa kerukunan itu merupakan
suatu kebutuhan bersama yang perlu dibangun bersama umat beragama. Jalan
terbaik untuk membangun kerukunan adalah melalui pelaksanaan dialog antarumat
beragama. Melalui dialog akan diperoleh pemahaman tentang diri sendiri dan
pemahaman terhadap pihak lain/lawan dialog. Di antra agama-agama yang ada
biasanya terdapat banyak persamaan makna ajaran di samping banyak pula ada
perbedaan-perbedaan prinsip pada setiap agama. Dengan pemahaman adanya
perbedaan itu tumbuhlah sikap saling pengertian, saling menghormati dan saling
menghargai perbedaan; dan dari pemahaman adanya persamaan akan tumbuh toleransi
satu dengan yang lain dan selanjutnya sepakat untuk membangun kerukunan hidup
bersama.
Dalam hal ini dapat diambil sebagai
misal isi ajaran masing-masing agama tentang makna kerukunan hidup, dan sikap
toleransi, yang pernah dihimpun sebagai hasil dialog antarumat beragama tanggal
3-5 Februari 1999 di Bedugul Bali sebagai berikut.
1.
Butir-butir
kerukunan menurut agama Hindu
a)
Tri Kaya
Parisudha, yaitu orang hendaknya selalu berpikir yang baik dan
benar, berkata yang baik dan benar terhadap semua makhluk (Sarasamuccaya sloka. 73)
b)
Berkumpul dan bermusyawarah satu sama lain, satukanlah
pikiranmu sebagaimana halnya para dewa yang selalu bersatu (Regveda X.192.2)
c)
Tumbuhkanlah rasa sabar dan tahan uji seperti ibu
pertiwi, jika tidak maka akan timbul permusuhan, kemurkaan dan pertengkaran (Sarasamuccaya, sloka 94)
d)
Manusia yang utama sejati adalah manusia yang dapat
bersahabat dengan semua makhluk (Manawa
Dharma Sastra II.87).
e)
Jalan manapun yang ditempuh manusia asal menujuKU
semuanya akan KU terima (Bhagawadgita.IV.11)
f)
Dengan saling menghormati engkau akan mencapai
kebajikan tertinggi (Bhagawadgita II.11)
g)
Bhineka
Tunggal Ika Tan Ana Dharma Mangrwa, yaitu walau berbeda-beda tetapi
hakikatnya satu jua, tidak ada kebenaran yang kedua (Kakawin Sutasoma, pupuh CXXXIX) (Sediawati, tt:30)
2.
Pedoman
Kerukunan dalam ajaran agama Islam
a)
Hai manusia sesungguhnya AKU menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (Qs.: Al Hujurat 13)
b)
Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku (Qs.:Al Kafirun: 6)
c)
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (QS.A. Baqoroh 256)
d)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (Qs.Almaidah:8)
e)
Orang muslim itu ialah orang lain merasa aman dari
gangguan tangan dan lidahanya (Hr.Jama’ah)
f)
Tidaklah beriman seseorang kamu, sehingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (Hr.Buchori dan Muslim)
g)
Sebaik-baiknya manusia adalah yang banyak memberikan
manfaat kepada manusia (Hr.Jabir)
h)
Bukanlah seorang Mukmin, dirinya kenyang sedang
tetangga sebelahnya lapar (Hr.Ibnu Abbas).
3.
Pedoman
Kerukunan dalam ajaran agama Kristen
a)
Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
(Matius 22:39)
b)
Berbahagialah orang yang membawa damai karena akan
disebut anak-anak Allah (Matius 5:9)
c)
Hiduplah selalu damai seorang dengan yang lain (I
Telasonika 5:13b).
d)
Jangan kamu sendiri yang menuntut pembalasan,
pembalasan itu adalah hak Allah. Jika seterumu lapar, berilah dia makan, jika
dia haus berilah dia minum. Jangan kamu kalah terhadap kejahatan, kalahkanlah
kejahatan dengan kebaikan. (Pesan Rasul Paulus-Roma 12: 19 s/d 21)
4.
Pedoman
Kerukunan dalam ajaran agama Katolik
a)
Kamu saling mengasihi, sama seperti aku telah
mengasihi kamu. Demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yohanes 13:34)
b)
Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
(Lukas 10:27)
c)
Kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada orang
yang membenci kamu (Lukas 6:27)
5.
Butir-butir kerukunan
menurut agama Buddha
a)
Jangan mencemoh dan menghina agama lain, seharusnya
kita menghormati agama lain, dengan berbuat itu agama kita sendiri berkembang,
jika kita berbuat sebaliknya, kita akan menggali lubang kubur untuk agama kita
sendiri (Upali Sutra dan Dekrit Raja Asoka)
b)
Siapapun yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan
agama lain, hanya akan merendahkan agamanya sendiri. Kerukunan antarpenganut
agama atau kepercayaan patut dihargai. Hendaknya kita mendengar dan memahami
agama yang baik dari agama lain (Prasasti Raja Asoka)
c)
Pergilah berkelana, demi kesejahteraan banyak orang,
demi kebahagiaan banyak orang, demi kasih sayang terhadap dunia, demi manfaat,
kesejahteraan, dan demi kebahagiaan manusia (Pesan Buddha Gautama pada 60 orang
Bhikkhu yang menjadi muridnya).
d)
Cinta kasih, kasih sayang, perasaan senang dan gembira
melihat orang lain senang dan gembira, dan keseimbangan batin (Catur Paramita)
e)
Berbahagialah mereka yang dapat bersatu, berbahagialah
mereka yang tetap dalam persatuan (Dharmapada,194)
6.
Butir-butir
pedoman kerukunan dalam agama Khong Hucu
a)
Bila tidak menuntut diri sendiri jangan menuntut orang
lain. Bila diri sendiri belum dapat bersikap tepasalira, tetapi berharap dapat
memperbaiki orang lain, sungguh belum pernah terjadi (Da Xue IX:4)
b)
Demikianlah caranya bergaul dekat denga orang lain (Li Ji XXXVIII:6)
c)
Maka Pemerintahan itu tergantung pada orangnya, orang
itu tergantung pada diri pribadinya; untuk membina diri itu harus hidup dalam
jalan suci dan untuk membina jalan suci itu harus hidup dalam cinta kasih
(Tengah Sempurna XIX:4)
Pandangan tentang kerukunan yang
diambil dari ajaran agama masing-masing terurai di atas menunjukkan adanya
kesamaan nilai hidup bersama untuk bisa rukun, saling berdampingan secara
harmonis, tidak saling mengganggu dan terganggu. Nilai-nilai dimaksud antara
lain (1) tentang perlakuan sebaik-baiknya terhadap diri terlebih dahulu baru
perlakuan terhadap orang lain, (2) bahwa orang lain ada persamaannya dengan
diri sendiri, (3) nilai cinta kasih perlu dikembangkan untuk sesama, (4) nilai
kasih sayang, dan (5) nilai kedamaian. Jika nilai-nilai yang mulia dari
masing-masing agama tersebut bisa dijadikan titik temu dan pedoman bersama,
maka hidup rukun yangsejati akan n bisa dicapai sebagai modal memantapkan wujud
masyarakat multikultural khususnya di Bali yangkeberadaannya harus diterima
sebagaimana adanya. Kerukunan akan bisa terwujud dengan lebih mantap lagi bila
didukung oleh penerapan kearifan lokal yang mempunyai persamaan nilai
kebersamaan dalam setiap agama.
Hal-hal yang dapat dipahami dengan
mudah mengenai pebedaan setiap agama adalah berkenaan dengan (1) sejarah
kelahiran dari masing-masing agama, (2) perjalanan atau perkembangannya ke
seluruh dunia sampai masuknya di Bali, (3) tata cara ibadah masing-masing agama, (4) sarana dan prasarana beribadahnya,
(5) bahasa yang dipergunakan dalam kitab suci masing-masing agama, dan (6) isi
ajaran terhadap berbagai aspek kehidupan beragama dan kehidupan bermasyarakat
(seperti pandangan tentang makanan dan minuman, cara berpakaian, masalah
perkawinan, dan lain-lainnya).
b.
Membangun
Kerukunan
Membangun kerukunan hidup beragama
(untuk Bali tinggal pemeliharaan kerukunan yang selama ini telah dibangun)
merupakan pembagunan bidang agama dan pembangunan bidang agama merupakan bagian
tak terpisahkan dari pembangunan nasional. Mengenai kerukunan tersebut,
Perwiranegara (1982:15) menyatakan bahwa agama dituntut untuk dapat memberikan
jawaban dan setidak-tidaknya harus memberikan jalan keluar, atau
sekurang-kurangnya memberi motivasi terhadap pembangunan, sebab pembangunan
lewat jalur agama adalah jalan yang paling mudah dan akan cepat
keberhasilannya. Pelaksanaan dialog antarumat beragama untuk membangun
kerukunan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional bidang
agama.
c.
Kearifan
Lokal dalam Membangun Bali
Pembangunan Bali dituang dalam salah
satu program, disebut Bali Mandara (aman, damai, dan sejahtera).Kini program
Bali mandara dipertajam ke dalam upaya Bali clean(resik)andgreen
(dayuh). Semua pihak atau siapapun dia yang berdomisili di Bali, menjadi
penduduk Bali, sebagai warga Bali, dan yang mencintai Bali (besar kecil, tua
muda, laki perempuan) wajib mensukseskan pembangunan Bali dengan penajaman Bali
clean dan green. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan
memantapkan kerukunan hidup umat beragama yang telah dicapai selama ini.
Di atas telah disinggung bahwa ada
tiga kerukunan yang perlu dimantapkan yaitu kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dengan
pemerintah.Kerukunan intern masing-masing agama sangat menentukan eksistensi
dari komunitas agama itu sendiri. Jika kerukunan intern masih bermasalah akan
bisa berpengaruh terhadap kerukunan antarumat beragama dan kerukunan antarumat
beragama dengan pemerintah. Tampaknya selama ini kerukunan intern agama masih
banyak ganguannya; salah satu penyebabnya adalah munculnya aliran keagamaan
dalam agama tersebut.Hal ini dinyatakan sangat sulit untuk diselesaikan di
setiap agama.
Kerukunan antarumat beragama yang
ditangani langsung oleh FKUB selama ini cukup baik terutama di tataran atas,
namun di tataran bawah masih banyak masalah dan keberadaannya belum merata.Oleh
karena itu, kerukunan antarumat beragama yang sudah dicapai perlu dimantapkan,
dan kerukunan yang belum merata dan masih bermasalah perlu dicarikan
pemecahannya. Setiap masalah perlu dipecahkan, kalau tidak akan dapat
memunculkan konflik-konflik sosial atau konflik SARA, sebagaimana halnya
terjadi di berbagai daerah di luar Bali selama ini.
Adapun mengenai kerukunan antarumat
beragama dengan pemerintah untuk di Bali saat ini masih cukup baik.Namun
demikian perlu juga selalu diadakan evaluasi dan pemantapan dengan mengadakan
berbagai kegiatan sarasehan, dialog, kegiatan sosial bersama dan hasil-hasil
kegiatannya didokumentasikan, disosialisasikan secara merata pada seluruh umat
beragama. Menyimak keberadaan kerukunan di antara tiga betuk kerukunan
(kerukunan intern, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama
dengan pemerintah) selama ini di Bali ternyata kerukunan internlah yang paling
susah diwujudkan. Maka dari itu, upaya selanjutnya adalah mengusahakan
peningkatan kerukunan itu sendiri mulai dari kerukunan intern, kerukunan
antarumat beragama dan akhirnya kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah
dengan sungguh-sungguh dan pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas
termasuk dana yang memadai. Jangan sampai pemerintah kebakaran jenggot; setelah
ada konflik baru sibuk dan berupaya mengumpulkan tokoh agama dan tokoh
masyarakat untuk menyelesaikan masalah konflik atau gangguan kerukunan umat
beragama.
Upaya untuk meningkatkan kerukunan di
Bali, salah satu cara adalah dengan menambah pemahaman terhadap eksistensi
nilai kearifan lokal yang ada. Kearifan lokal yang sudah disepakati sepeti menyama braya kini tinggal memantapkan
dan disosialisasikan secara merata dan berkelanjutan. Kearifan lokal yang lain
perlu digali, dikaji, kemudian disepakati sebagai pedoman dalam memelihara
kerukunan hidup bersama. Demikian pula dalam rangka mendukung pelaksanaan
program Bali mandara ataupun Bali clean dan
green sangat perlu dipahami dan
disepakati kearifan lokal Bali tentang tri
hita karana. Jika dipandang perlu kearifan lokal yang digali dan dikaji
serta dijadikan pedoman bersama bukan hanya dalam bentuk slogan, akan tetapi
bisa juga memahami kearifan lokal dalm bentuk cerita rakyat, nyanyian
tradisional, dan perilaku-perilaku yang dapat diteladani. Pelaksanaan Pesta
Kesenian Bali (PKB) setiap tahun dapat dipandang sebagai suatu kearifan lokal
Bali yang dapat mendekatkan masyarakat Bali dari berbagai etnis, masyarakat
nusantara, bahkan masyarakat internasional untuk mewujudkan kerukunan hidup
lewat budaya berkesenian. Demikian pula pada kegiatan pembangunan, pasar murah,
dan kegiatan lain yang selalu ada paling kurang setahun sekali dapat
dimanfaatkan sebagai ajang kerukunan masyarakat Bali dalam arti yang luas. Oleh
karena itu, pada even-even tersebut semua komunitas masyarakat budaya,
paguyuban, komunitas agama mestinya dapat berperan aktif menampilkan kearifan
lokal masing-masing dalam berbagai bentuknya yang dapat dipahami semua pihak
demi memantapkan kerukunan masyarakat Bali.
d.
Manajemen KUA
Ø Pelayanan Pernikahan Siri, Biaya, Bawah Umur
1.
BIAYA NIKAH
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berlaku pada Departemen Agama menyebutkan bahwa Penerimaan dari Kantor Urusan
Agama Kecamatan, Biaya Pencatatan Nikah Rujuk per peristiwa sebesar Rp.
30.000,-
2.
NIKAH DI BAWAH UMUR
Selain UU No. 23 tahun 2001 tentang Perlindungan Anak ada UU alternatif lain yang
bisa dijadikan acuan dalam mencegah (menolak)
perkawinan anak di bawah umur, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai
sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU No.1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 :
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat
2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan
hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
3.
NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” dari segi etimologi berasal dari
bahasa Arab, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut
Terminologi Fiqh Maliki, Nikah sirri, ialah:
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi
merahasiakannya untuk isterinya atau jama‟ahnya, sekalipun keluarga setempat”
Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri.
Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera
atau rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya
atau dengan kesaksian empat orang saksi. Demikian juga Madzhab Syafi’i dan
Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut madzhab Hambali, nikah yang telah
dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun
dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya
makruh. Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam
pelaku nikah sirri dengan hukuman had.
Nikah sirri menurut terminologi fiqh tersebut
adalah tidak sah. Sebab, nikah sirri itu selain bisa mengundang fitnah, tuhmah
dan buruk sangka, juga bertentangan dengan hadis-hadis Nabi. Menurut hukum
positif, nikah sirri sebagaimana dirumuskan dalam fiqh madzhab tersebut di
atas, juga tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan syariat Islam sebagaimana
diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang perkawinan.
Ø Wakaf
Keberadaan
wakaf untuk kesejahteraan masyarakat banyak menjadi tuntutan yang tidak bisa
dihindari lagi. Sehingga masyarakat Indonesia sudah selayaknya mengoperasikan
UU Wakaf secara positif. UU Wakaf ini merupakan penyempurnaan peraturan
perundangan wakaf sebelumnya sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif
wakaf secara produktif dan professional.
Pembangunan
atas harta wakaf harus mendapatkan perhatian sehingga harta wakaf yang dikelola
oleh nazhir dapat dikembangkan menjadi wakaf produktif. Dimana hasil dan
manfaat wakaf tersebut dapat berubah dan meningkat yang dapat meningkatkan
pahala wakif serta dapat membantu kemaslahatan umat demi kemakmuran. Dalam
mengelola wakaf produktif nazhir sebagai pengelola harus mengoptimalkan hasil
dari tanah wakaf tersebut. Pola pendekatan dalam mengoptimalkan hasil
pengelolaan wakaf sebagai berikut :
1.
Meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam
mengembangkan fungsi wakaf kepada yang bersifat manfaat dan produktif.
2.
Mengupayakan bermitra dengan pihak luar dalam
mengembangkan fungsi wakaf dengan unsur-unsur Pemerintah, Lembaga Sosial
Masyarakat, Konsultan dan Pelaku Ekonomi.
3.
Mengoptimalkan penggunaan wakaf untuk kegiatan ibadah,
pendidikan, sosial dan kemasyarakatan.
4.
Meningkatkan kemampuan nazhir untuk pengelolaan wakaf
melalui diklat, orientasi dan studi banding.
Dasar Hukum
1.
Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
2.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, tentang
Perwakafan Tanah Milik
3.
Peraturan Menteri Agama No. 1 Th.1978, tentang
Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik
4.
Instruksi Bersama Menteri Agama RI, dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional
-
No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan PP No. 28/1977
-
No. 1 Tahun 1978
5.
Instruksi Bersama Menteri Agama RI, dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional
-
No. 4 Tahun
1990, tentang Sertifikat Tanah Wakaf
-
No. 25 Tahun 1990
6.
SK Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No.15/1990
Tentang Penyempurnaan Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan
Tentang Perwakafan Tanah Milik
7.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang 11
Mei 2002
Standar Minimal Pengelola Wakaf
1.
Beragama Islam
2.
Mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan
hukum)
3.
Baligh (sudah dewasa)
4.
Aqil (berakal sehat)
5.
Professional (memiliki kemampuan dalam mengelola
wakaf)
6.
Memiliki sifat amanah, jujur, dan adil
Pola Pendekatan dalam Mengoptimalisasi dan
Keberhasilan Pengelolaan Wakaf :
1.
Meningkatkan kreatifitas dan inovasi dalam
mengembangkan fungsi wakaf kepada yang bersifat menfaat dan produktif
2.
Mengupayakan bermitra dengan pihak luar dalam
mengembangkan fungsi wakaf dengan unsur-unsur Pemerintah, Lembaga Sosial
Masyarakat, Konsultan dan Pelaku Ekonomi
3.
Mengoptimalkan penggunaan wakaf untuk kegiatan ibadah,
pendidikan, sosial dan kemasyarakatan
4.
Meningkatkan kemampuan nazhir untuk pengelolaan wakaf
melalui Diklat, orientasi dan studi banding
Peluang Dan
Tantangan
1.
Banyaknya harta wakaf yang belum dikelola dengan benar
a.
Sempitnya pola pemahaman masyarakat terhadap harta
yang akan diwakafkan
b.
Umumnya masyarakat yang mewakafkan hartanya kepada
orang yang dianggap panutan
c.
Kurang memadainya peraturan perundang-undangan
2.
Sdm dalam pengelolaan wakaf produktif
a.
Syarat moral
b.
Syarat manajemen
c.
Syarat bisnis
3.
Kesadaran umat islam terhadap penerapan sistem ekonomi
syariah
4.
Dukungan Pemerintah dan kondisi politik dalam
pemberdayaan civil society
5.
Banyaknya perbankan syari’ah yang siap mengelola wakaf
produktif
Hambatan Dan Tantangan
1.
Paham umat islam tentang wakaf
2.
Banyak tanah wakaf yang tidak strategis dan pro-kontra
mengenai pengalihan wakaf untuk tujuan produktif
3.
Banyaknya tanah wakaf yang belum bersetifikat
4.
Peraturan perundang-undangan
Pengembangan Wakaf
1.
Program Jangka Pendek :
a.
Menginventarisir seluruh tanah wakaf yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan secara produktif di seluruh indonesia
b.
Memfasilitasi / bantuan pembiayaan sertifikasi tanahwakaf yang belum bersetifikasi wakaf
c.
Mengorganisir dan mengembangkan lembaga- lembaga nadzir wakaf yang sudah ada untuk
memperdayakan tanah-tanah wakaf dengan membuat kebijakan-kebijakan
d.
Sosialisasi undang-undang ri nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf
2.
Program Jangka Panjang :
a. Mengumpulkan,
mengelola, dan mengembangkan wakaf tunai
( cash wakaf ) dengan lembaga keuangan terkait / khususnya perbankan syari’ah
b. Mengembangkan
lembaga-lembaga nadzir yang sudah ada agar lebih kredibel ( profesional dan
amanah )
c. Menangkap
peluang usaha pemberdayaan tanah wakaf produktif
d. Evaluasi dan
umpan balik bagi perencanaan usaha
Ø Produk Halal
Peraturan Perundangan Yang Berkenaan Dengan
Produk Halal
1.
Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
pasal 21 huruf d yang berbunyi : Ketentuan lainnya. Selanjutnya dalam
penjelasan ayat tersebut berbunyi “ Ketentuan lainnya misalnya kata atau tanda
halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses
sesuai dengan persyaratan makanan halal.”
2. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor: 427/Men.Kes/KSB/VIII/1985 dan Nomor 68 tahun
1985 tentang Pencantuman Tulisan pada Label Makanan.
Keterangan
halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam. Namun pencantumannya pada label pangan, baru
merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal
dimaksudkan agar masyarakat terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Dengan pencantuman halal pada label, pangan dianggap telah menjadi
pernyataan maksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung
jawab atas kebenaran pernyataan itu.
Ø Pelayanan Haji
Umum
Setiap
kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Perubahan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi
Undang-Undang.
Prinsip-prinsip
penyelenggaraan ibadah haji yaitu mengedepankan kepentingan jamaah, memberikan
rasa keadilan dan kepastian, efisiensi dan efektifitas, transparansi dan
akuntabilitas, profesionalitas dan nirlaba.
Pendaftaran Haji
1.
Waktu dan Tempat
Pendaftaran haji dilakukan di Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota tempat domisili setiap hari kerja.
2.
Syarat-Syarat Pendaftaran Haji
a.
Fotocopy KTP dan Kartu Keluarga
b.
Surat Keterangan Sehat dari Puskesmas
c.
Fotocopy buku tabungan minimal Rp. 25.000.000 (dua
puluh lima juta rupiah)
d.
Pas foto terbaru tampak wajah 70-80% latar belakang
berwarna putih, pakaian/jilbab kontras ukuran 3X4 sebanyak 30 buah dan ukuran
4X6 sebanyak 6 buah
e.
Fotocopy buku nikah bagi pendaftar suami istri
f.
Fotocopy Akte Kelahiran/Ijazah (SD-SMA)
3.
Cara Mendaftar
a.
Datang ke Kantor Kementerian Agama sesuai domisili
dengan membawa persyaratan di atas.
b.
Mengisi Surat Permohonan Pergi Haji (SPPH) dan
disahkan oleh petugas Kantor Kementerian Agama Kab/Kota.
c.
Membayar setoran awal sebesar Rp. 25.000.000 (dua
puluh lima juta rupiah) ke rekening Menteri Agama pada BPS BPIHyang online
dengan SISKOHAT yaitu :







d.
Meneriam Bukti Setoran Awal BPIH yang di dalamnya
tercantum Nomor Porsi sebagai bukti telah syah terdaftar sebagai jamaah haji
e.
Melaporkan diri ke Kantor Kemenag Kab/Kota tempat
mendaftar paling lambat 5 (lima) dari dan menyerahkan Bukti Setoran Awal warna
kuning.
Pelunasan BPIH
1.
Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul
Menteri Agama setelah mendapat persetujuan DPR, yaitu digunakan untuk keperluan
biaya penyelenggaraan ibadah haji
2.
Prioritas pemberangkatan jamaah haji diberikan kepada
calon jamaah haji yang nomor porsinya masuk dalam alokasi porsi provinsi dan
telah melunasi BPIH tahun berjalan, belum pernah haji dan berusia 18 tahun ke
atas dan atau sudah menikah
3.
Waktu dan Tempat Pelunasan
a.
Waktu pelunasan BPIH tahun berjalan dilaksanakan
setelah ditetapkan Peraturan Presiden tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
b.
Pelunasan BPIH dilakukan pada BPS BPIH tempat setor
semula
4.
Syarat-Syarat untuk Melunasi BPIH
Memilki Nomor Porsi yang masuk dalam alokasi
porsi Provinsi dengan ketentuan:
a.
Belum pernah haji
b.
Berusia 18 tahun keatas dan atau sudah menikah
c.
Suami, anak kandung dan orang tua kandung yang pernah
haji dan akan bertindak sebagai mahram bagi jamaah haji sebagaimana dimaksud
diatas, atau pembimbing ibadah haji yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Kemenag
Provinsi dan dikonfirmasi ke dalam SISKOHAT sebelum waktu pelunasan dimulai.
5.
Cara Melakukan Pelunasan BPIH
a.
Datang ke BPS BPIH dengan membawa Bukti Setoran Awal
b.
Menambah kekurangan BPIH tahun berjalan sesuai dengan
besaran yang ditetapkan oleh Presiden
c.
Menerima Bukti Storan Pelunasan BPIH
d.
Melaporkan diri ke Kantor Kemenag Kab./Kota tempat
mendaftar paling lambat 7 (tujuh) hari dengan membawa dan menyerahkan Bukti
Setoran Pelunasan warna merah, kuning, biru.
6.
Calon jamaah haji yang masuk dalam alokasi porsi
Provinsi tetapi tidak melunasi BPIH tahun berjalan menjadi waiting list tahun
berikutnya.
Mutasi Haji
Syarat
–Syarat Mutasi Haji
1.
Penggabungan suami istri yang terpisah dibuktikan
dengan Surat Nikah
2.
Penggabungan orang tua dan anak dibuktikan Akte
Kelahiran
3.
Pindah tugas dibuktikan dengan surat mutasi kerja
Pembatalan Haji
1.
Calon jamaah haji yang membatalkan pendaftarannya,
BPIH nya dikembalikan melalui BPS BPIH tempat setor semula.
2.
Permohonan pengajuan pengembalian BPIH jamaah batal
dilakukan melalui Kantor Kemenag Kab./Kota domisili, dengan melampirkan:
a.
Bukti setoran asli BPIH lembar pertama dan keempat
b.
Surat Pernyataan Batal dari calon jamaah haji
bermaterai Rp. 6.000,-
c.
Surat Kuasa bermaterai p. 6.000,- dari calon jamaah
haji yang bersangkutan, dan diketahui Lurah/Kepala Desa stempat, apabila
pengambilan dikuasakan kepada orang lain
d.
Fotocopy surat kematian dan surat keterangan ahli
waris bagi yang batal karena meninggal dunia.
3.
Penyelesaian proses pembatalan dilaksanakan secara
berjenjang muali dari Kantor Kemnag Kab./Kota, Kanwil Kemenag Provinsi, Ditjen
Penyelenggaraan Haji dan Umrah dan Bank Penerima Setoran Awal BPIH.
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan,
pembinaan dan pemeliharaan kesehatan haji dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan:
Tahap pertama di Puskesmas dan Tahap kedua di rumah sakit Kabupaten/Kota.
Biaya
pelayanan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh calon jamaah haji yang
besarannya berbeda-beda antar Kabupaten/Kota, sesuai Perda Kabupaten/Kota
bersangkutan.
KBIH
Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) di Provinsi Bali ada 2 (dua), yaitu:
1.
KBIH Persaudaraan Denpasar.
Memberikan bimbingan ibadah sampai tanah suci
Makkah. Tahun 2011 jamaah haji yang bergabung dalam KBIH Persaudaraan sebanyak
45 orang dengan seorang pembimbing ibadah.
2.
KBIH Al Mabrur Singaraja.
Memberikan bimbingan mansik di tempat/daerah, tidak
menyertakan pembimbingdalam pemberangkatan jamaah haji.
Pelaksanaan Manasik Haji
Pelaksanaan
manasik haji di Provinsi Bali dilakukan sebanyak 15 kali pertemuan yaitu 4 kali
pertemuan atau bimbingan missal di Kabupaten/Kota dan 11 kali pertemuan di tingkat
Kecamatan yang dikoordinir oleh KUA Kecamatan.
Pembiayaan
ditanggung oleh BPIH per orang Rp.25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) yang
dugunakan untuk biaya narasumber, ATK, konsumsi, dokumentasi dll.
Dokumen
1.
Paspor untuk jamaah haji Provinsi Bali diterbitkan
oleh Kantor Imigrasi klas I Denpasar dan Kantor Imigrasi klas II Singaraja.
Biaya pembuatan paspor sebesar Rp.255.000,- (dua ratus lima puluh lima ribu
rupiah) dari dana BPIH.
2.
Dokumen jamaah haji yang menyertai paspor adalah DAPIH
(Dokumen Administrasi Perjalanan Ibadah Haji), hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan petugas haji baik di tanah air maupun Arab Saudi dalam mengontrol
jamaah haji itu sendiri. DAPIH ini memiliki 12 lembar sobekan yang akan
digunakan sesuai dengan tempat dan kebutuhan.
Kuota
Kuota haji Provinsi Bali berdasarkan
KMA No. 29 tahun 2011 sebanyak 639 dengan 3 orang TPHD. Kemudian mendapat
tambahan sebanyak 120 orang (50% lansia dan 50% pendamping), sehingga jumlah
total kuota haji Provinsi Bali Tahun 2011 sebanyak 759 orang.
Dari jumlah tersebut yang melunasi
sebanyak 739 orang yang tergabung dalam Kloter 81-SUB sebanyak 445 orang,
Kloter 82-SUB sebanyak 183 orang dan Kloter 91-SUB sebanyak 111 orang.
Embarkasi
Jamaah Haji Provinsi Bali
diberangkatkan ke Arab Saudi melalui Embarkasi Surabaya. Biaya pemberangkatan
jamaah haji dari Bali ke Surabaya PP ditanggung sepenuhnya oleh jamaah haji.
Angkutan yang dipergunakan di bawah koordinasi PPIH Kabupaten/Kota adalah
Kendaraan darat (Bus) dan hanya sebagian kecil yang menggunakan angkutan
pesawat udara yaitu sebanyak 20 orang.
e.
Informasi
Tentang Penyuluh Agama Fungsional (PNS) dan non PNS
Penyuluh
Agama Fungsional (PNS) di Provinsi Bali tahun 2011 berjumlah 161 orang,
sedangkan Penyuluh Agama non PNS berjumlah 1.576 orang (dari seluruh agama).
Penyuluh
Agama mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berdasarkan Keputusan Menteri Agama
(KMA) Nomor 516 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh
Fungsional, yaitu melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau
penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama kepada masyarakat. Tugas
penyuluh agama sekarang ini berhadapan dengan suatu kondisi masyarakat yang
berubah dengan cepat yang mengarah pada masyarakat fungsional, masyarakat
teknologis, masyarakat saintifik dan masyarakat terbuka. Dengan demikian,
setiap penyuluh agama secara terus menerus perlu meningkatkan pengetahuan,
wawasan dan pengembangan diri, dan juga perlu memahami visi penyuluh agama
serta menguasai secara optimal terhadap materi penyuluhan agama itu sendiri
maupun teknik menyampaikannya. Sehingga ada korelasi faktual terhadap kebutuhan
masyarakat pada setiap gerak dan langkah mereka.
Materi
Penyuluhan
1.
Sradha, bakti, etika dan susila.
2.
Aqidah, target yang ingin dicapai adalah;
menghilangkan praktek kemusyrikan di masyarakat.
3.
Muamalah, target yang ingin dicapai adalah; bagaimana
memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.
4.
Akhlaq, target yang ingin dicapai adalah; meningkatkan
penyadaran pada masyarakat tentang pentingnya akhlaq al karimah.
5.
Ibadah, target yang ingin dicapai adalah; meluruskan
niat dalam beribadah, menjadikan segala sesuatu kegiatan bernilai ibadah.
Penyuluh
Agama non PNS
Secara bahasa penyuluh non PNS
merupakan petugas yang memberikan penerangan agama melalui bahasa agama yang dibiayai
melalui DIPA Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali. Keberadaannya diperlukan
dan untuk kelangsungannya menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.
Adapun penyuluh non PNS memiliki
tugas dan kewajiban yang sama dengan penyuluh fungsional yaitu menerangkan
segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, hukum, etika, susila, upacara, syarat
dan rukun dari suatu pelaksanaan ritual tertentu, pernikahan, zakat, keluarga
sakinah, kemasjidan dan lain sebagainya.
Keberadaan penyuluh non PNS sangat
strategis di dalam mengadakan pembinaan dan berhadapan langsung dengan umat.
III.
Kesimpulan
dan Penutup
Beranjak dari beberapa hal dalam
uraian diatas dapat dinyatakan bahwa : 1) Heterogenitas masyarakat Bali tak
dapat dihindari dan sudah terjadi serta akan terus terjadi dan semakin hari
semakin kompleks. 2) Setiap komunitas masyarakat memang memiliki kearifan
lokal, demikian pula masyarakat Bali dengan kearifan lokalnya yang mengandung
nilai persaudaraan dapat dijadikan pedoman dalam menjalin kerukunan hidup
bersama dari masyarakat yang beragama (multikultural) dan berbeda (agama,
etnis, adat-istiadat, ras, dan golongan). 3) di dalam setiap agama ada ajaran
yang senada dengan nilai kearifan lokal dan setiap agama memberi semangat agar
umatnya bisa rukun secara intern maupun ekstern. 4) atas dasar pemahanman
tentang kearifan lokal Bali dan kerukunan yang ada kesepadanannya dalam agama
masing-masing yang dikaji lewat dialog antarumat beragama di Bali secara
berkesinambungan, maka kerukunan hidup beragama dan bermasyarakat di Bali
selama ini tergolong baik, walaupun kondisi rukunnya lebih baik pada tataran
atas sementara pada tataran bawah masih perlu pembinaan secara merata dan terus
menerus.
Upaya ke depan adalah agar kerukunan
yang sudah dicapai bisa dijaga, dipelihara, dan ditingkatkan dengan lebih
mendalami ajaran agama masing-masing dan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat
dijadikan dasar untuk hidup bersama saling berdampingan secara damai dan
harmonis dan dapat saling menerima, saling menghargai dan saling menghormati
perbedaan. Tranformasi nilai harus terjadi secara alami dari satu generasi ke
generasi berikutnya dan selalu diharapkan adanya perubahan yang mengarah kepada
kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Demikian yang dapat disampaikan
tentang nilai-nilai kearifan lokal dalam membangun kehidupan beragama di
Provinsi Bali secara singkat.Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Terima kasih.Om
Santih, Santih, Santih, Om.
LAMPIRAN
BERDASARKAN DATA YANG
ADA DI KANWIL AGAMA PROV. BALI TAHUN 2011,PEMBANGUNAN DI ATAS TANAH WAKAF SBB:
NO
|
JENIS PEMBANGUNAN
|
JUMLAH
|
LUASNYA
|
1.
|
MASJID
|
398 LOKASI
|
615.355,3 M2
|
2.
|
MUSHOLLA / LANGGAR
|
186 LOKASI
|
45.633,5 M2
|
3.
|
MADRASAH / SEKOLAH
|
94 LOKASI
|
135.551 M2
|
4.
|
KUBURAN / MAKAM
|
188 LOKASI
|
473.039 M2
|
5.
|
SOSIAL LAINNYA
|
379 LOKASI
|
706.784,2 M2
|
JUMLAH
|
993 LOKASI
|
1.976.363 M2
|
DATA SERTIFIKASI TANAH
WAKAF TAHUN 2011 SBB:
NO
|
KETERANGAN
|
JUMLAH
|
LUASNYA
|
1.
|
SERTIFIKASI
|
1125 LOKASI
|
1.545.555 M2
|
2.
|
PROSES DI BPN
|
61 LOKASI
|
72.675.05 M2
|
3.
|
BELUM SERTIFIKASI
|
63 LOKASI
|
83.106,8 M2
|
JUMLAH
|
1249 LOKASI
|
1.1977. 308 M2
|
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Iman. 1985. Agama dan
Tantangan Jaman. Jakarta : Penerbit Midas Surya Grafindo.
Ali, H.A.Mukti. 1976. Agama dan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta : Biro Humas Dep. Agama RI.
Ali, Mursyid. 1999. Dinamika
Kerukunan Hidup Beragama Menurut Perspektif Agama-Agama.Jakarta : Balitbang
Agama Depag RI.
Aryadharma, Suarpi. 2009. Konversi Agama “Penyakit Kronis di Bali”
Manfaatkan Kelemahan Agama dan Pelaksanaan Adat.Media Hindu, Nopember 2009, Edisi 69.
Budiyono. 1983. Membina Kerukunan
Hidup Antarumat Beragama. Yogyakarta : Penerbit Yayasan Kanisius.
Djauhary, H.A Zaidan. 1983/1984.Pedoman
Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta : Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup
Beragama Departemen Agama RI.
Kanwil Depag. 2008. Profil Kanwil
Depag Prov. Bali. Denpasar: Humas Kanwil Depag
Mulyana. 2005. Demokrasi dalam
Budaya Lokal.Yogyakarta : Tiara Wacana.
Mursyid, H. Hasbulah. 1989. Musyawarah
Antar-Pemuka Umat Beragama.Jakarta : Sekretariat Jendral Departemen Agama
RI.
Ngurah, I Gusti Made. 2004. Dialog
Antarumat Beragama dalam Perspektif Budaya Bali Studi Kasus Terhadap Kehidupan
Beragama di Kota Denpasar. Tesis S2 Kajian Budaya Pascasarjana Unud.
---------------------------. 2010. Dialog
Antarumat Beragama dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar. Disertasi
S3 Kajian Budaya Unud.
PHDI.2006. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.Jakarta : PHDI
Pusat.
Prawiranegara, H, Alamsyah Ratu. 1982. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia (H.A. Hanafiah Dasuki,
Penyunting). Jakarta : PT. Karya Unipress.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya
Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Soputan, Jimmy. 2002. “Meningkatkan
Dharma Agama dan Meneguhkan Kedalaman Hidup Beragama dengan Menyama Braya”.
Makalah disampaikan pada Sarasehan Antarumat Beragama tanggal 2 Nopember 2002
di Hotel Bumi Asih. Renon Denpasar.
Subscribe to:
Posts (Atom)